Friday, May 29, 2015

politik kantoran

Pada suatu hari, beberapa tahun silam, pemilik perusahaan memanggil saya, dia berencana menggandeng seorang calon relasi. Saya diminta membantu menentukan kelayakannya. Akhirnya saya sempat beberapa kali mewawancarai calon relasi itu. Beberapa prospek bisnis yang diajukan sudah saya fahami, yang belum saya fahami adalah mengapa di perusahaan sebelumnya sang relasi itu gulung tikar, dan kemudian menawar-nawarkan kapabilitasnya hingga sampai ke boss saya. Jawaban yang diberikan oleh calon relasi ini tidak pernah memuaskan saya, saya merasa ada yang ditutupi ihwal kebangkrutan perusahaan dia sebelumnya.

Namun, pemilik perusahaan memiliki pertimbangan lain. Dan 'sisi bangkrut' tadi menjadi handycap, sebagai catatan khusus, namun beliau tetap memutuskan untuk menggandeng relasi. Secara umum, pemilik perusahaan mau menerima relasi, dan saya didudukkan sebagai perwakilan komisaris.

Maka, calon relasi tadi resmi bergabung, sebut saja namanya pak Kamaru, berikut rombongannya, membentuk divisi di perusahaan dimana saya bekerja. Dia manajer, saya wakil komisaris. Sejauh itu saya masih penasaran dengan sebab musabab kebangkrutan perusahaannya yang lalu. Tetapi hal itu saya pendam. Hingga akhirnya dengan berjalannya waktu saya memahami karena beberapa hal.

Hal pertama adalah ketika saya menangkap basah dalam proses rekruitmen, ketika dia merekrut saudaranya dengan nilai gaji yang diatas normal. Dan, pak Kamaru pontang - panting menjelaskan nilai ini, sembari berjanji mereduksinya. Namun, dalam perjalanan waktu, ternyata dilakukan up-grading bertahap sehingga akhirnya gaji saudaranya tadi pada akhirnya naik fantastis. Regulasi yang pak Kamaru keluarkan, yakni kenaikan setahun sekali, tidak berlaku bagi saudaranya, karena dia naik gaji dua kali setahun dengan nominal yang fantastis.

Hal kedua adalah dalam urusan rental mobil. Pak Kamaru menyewa beberapa mobil untuk operasional proyek, including mobil pribadinya, yang digunakan untuk keperluannya berkantor, serta beberapa kali ke proyek, namun tidak selalu. Mobil itu lebih sibuk melayani pak Kamaru pergi - pulang ke kantor. Ketika pejabat keuangan dan general affair saya konfirmasi soal ini, mereka memilih bungkam. Setau saya, melakukan sewa menyewa milik pribadi adalah riskan dalam keuangan perusahaan. Tentunya riskan diselewengkan. Dugaan saya ini terbukti ketika pada bulan - bulan berikutnya pak Kamaru membeli mobil baru dengan cara mencicil kredit. Dan dengan status mobil yang disewakan kepada kantor, maka bayaran sewa itu digunakan untuk melunasi mobilnya.  Padahal mobil itu dia yang menggunakan, notabene tidak untuk ke proyek. Hanya sesekali.

Dalam kasus lain juga begitu, ketika mengadakan kegiatan jalan sehat, maka pengadaan kaos olah raga jalan sehat dan pengadaan konsumsi diserahkan kepada saudara - saudaranya. Bukan melalui perbandingan terbuka. Namun, sejauh boss menyetujui, saya cuma bisa memberi saran.

Hal ketiga adalah ambisi jabatan. Sekitar tahun 2012, boss saya berhasrat menjajagi bisnis EO. Bukan sebagai main job, tetapi hanya sebagai selingan berinisiatif, maka bergulirlah rencana untuk membuka usaha event organizer. Saya dan pak Kamaru diajak merintis. Boss saya faham, saya lebih berpengalaman sebagai organizer ketimbang pak Kamaru. Namun, karena menurut saya proyek EO ini kurang berprospek, maka saya mencoba tidak banyak terlibat. Dan diluar dugaan saya, Pak Kamaru suka cita dengan 'ketidak terlibatan' saya itu. Pak Kamaru mengopinikan bahwa saya mengundurkan diri. Usut punya usut, deviasi ini berpangkal dari pak Kamaru yang ternyata berambisi menduduki posisi pimpinan EO tersebut. Saya persilahkan saja dia ber-manouver untuk menjabat di EO, toh saya juga menilai bahwa EO tersebut kurang berprospek. Dan pada akhirnya, setelah sekitar enam bulan, terjadilah apa yang seperti saya duga, EO itu akhirnya jeblok finansialnya. Dan saya terbebas dari masalah itu, sementara pak Kamaru berkelit terhadap tanggung jawab jebloknya keuangan EO. Pak Kamaru beropini bahwa jebloknya finansial EO karena kesalahan boss besar. Terserahlah, kata saya dalam hati. Yang penting saya tidak ikut - ikut.

Ambisi berikutnya adalah ketika tahun 2014 terjadi problem keuangan di perusahaan. Divisi yang saya rintis, divisi profit center, termasuk salah satu calon yang harus dirampingkan, karena belum memberikan profit yang besar, baru cuma bisa tutup - tutup overhead sahaja. Sebagai salah satu jajaran manajemen, saya tidak berkeberatan. Namun, diluar dugaan saya, Pak Kamaru dengan suka cita menerima limpahan ex-divisi yang semula saya pimpin. Jadi, saya baru sadar bahwa ternyata sejatinya tidak dirampingkan, melainkan jadinya dialihkan. Di depan direksi, Pak Kamaru berjanji akan meningkatkan performa divisi tersebut. Menengok gelagat ini, saya khawatir bila akhir dari divisi tersebut akan tidak enak, dan kemungkinan akan berimbas ke saya juga. Menyiasati ini, mangkanya segera saya siapkan dokumen serah terima kepada pak Kamaru, sehingga bila terjadi sesuatu di kemudian hari, saya berlepas diri karena saya bukan pemimpin disitu lagi. Ketika saya sodori dokumen serah terima, tersirat wajah terkejut Pak Kamaru, namun saya berusaha santai. Dan kekhawatiran saya nyaris terbukti karena sampai detik ini divisi tersebut malah belum menghasilkan apapun.

Saya mencari tau alasan apa di balik kesediaan Pak Kamaru mengambil alih divisi saya tadi. Ternyata adalah teori "janji". Pak Kamaru berjanji, bila dia yang meng-handle, maka perusahaan akan mendapat profit. Ambisi yang nyaris sama dengan keadaan EO. Saya duga, dia melakukan hal itu untuk menutupi kegagalan divisinya sendiri yang ternyata juga lagi seret, mangkanya dia merambah ke lahan orang lain. Hal ini terjadi juga beberapa bulan kemudian. Pada saat itu saya melemparkan sebuah 'duty' yang ternyata berakhir sukses, hingga akhirnya perusahaan memberi reward kepada mereka yang terlibat. Bisa jadi, melihat kondisi kinclongnya 'duty' yang baru tadi, dia kembali berambisi merebut dari lahan saya. Pelan - pelan dia mempengaruhi anak buah saya, mengajaknya untuk berkolaborasi membuat proposal perubahan struktur organisasi, sehingga mereka yang tadi on duty bareng saya, akhirnya bisa di bawah komando dia. Pada saat itu, saya sedang handling pekerjaan di luar, jadi, paling - paling saya seminggu sekali ke kantor, dan terlambat menyadari satu - persatu anak buah saya berpihak kepada pak Kamaru.

Puncaknya adalah ketika mereka hendak mendeklarasikan legalitasnya di depan jajaran direksi. Mereka mengatur rapat khusus demi lancarnya strategi itu. Namun, saya punya pengalaman yang lebih dari cukup untuk menghadapi hal tersebut. Saya sudah dua kali bekerja di perusahaan besar. Walhasil, dalam rapat penentuan tersebut, saya melakukan manouver yang sama sekali di luar prediksi mereka. Dan manouver ini membuat mereka lebih berhati - hati bila berhadapan dengan saya kelak. Dalam rapat tersebut, saya malah sengaja melepaskan anak buah, seperti harapan mereka. Tetapi saya akhirnya diberi kenaikan status sehingga pada akhirnya malah mereka semua masih berada di bawah saya. Secara struktur organisasi, mereka malah semua berada di bawah saya, walau bukan anak buah saya langsung.

Tidak cuma urusan pekerjaan lapangan saja ternyata. Di perusahaan, semua jajaran manajemen diharapkan bisa menjadi trainer untuk in-house training. Saya tercatat sebagai trainer untuk topik mutu. Bila ada pelatihan tentang mutu, maka saya-lah trainer-nya. Itu terjadi hingga bulan ini, dan kemudian 'stop'. Karena mulai akhir bulan ini, trainer untuk topik mutu sudah beralih ke Pak Kamaru dan temannya, saya tidak lagi.

No comments:

Post a Comment