Monday, March 14, 2016

Islam dari china

Habibie:
Hadiah Terbesar Bangsa Cina ke Indonesia adalah Islam


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --

Presiden ketiga RI BJ Habibie menjelaskan mengenai awal kehadiran Islam di nusantara. Menurut dia, Islam datang ke Indonesia dan diperkenalkan pertama kali lewaat bangsa Cina, melalui laksamana Cheng Ho.

"Hadiah terbesar bangsa Cina ke Indonesia adalah agama Islam," kata Habibie ketika memberikan ceramahnya di Masjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta, Jumat (29/8). 

Habibie menjelaskan, Islam lahir 14 Abad silam. Saat itu, Islam memang belum sampai ke jazirah Tiongkok. Baru ketika jalur perdagangan dibuka 700 tahun kemudian Islam sampai di Cina. Kemudian, Laksamana Cheng Ho datang ke Nusantara membawa misi damai dan Islam pun dikenal masyarakat Indonesia ketika itu. 

"Ini yang sering saya katakan ketika saya bertemu siapa pun, termasuk tokoh dunia. Ketika saya ke Cina, saya diberitahu, umat Islam yang saya temui inilah orang-orang yang memperkenalkan Islam kenegara Anda," kata dia.

"Saya bilang ke pimpinan Beijing, saya bilang ke pimpinan Jerman, agama Islam datang ke Indonesia damai bukan peperangan," kata dia. 

Sejarah perkembangan Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan dari jasa Walisongo (Wali Sembilan). Banyak versi mengenai kisah para wali ini, salah satunya versi yang menyatakan mereka berasal dari Cina.

Tahun 1968, Profesor Slamet Mulyana menulis versi yang tidak populer itu dalam bukunya "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara", namun dilarang beredar karena dinilai dapat memicu perdebatan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antaragama).

Menurut Mulyana, orang yang mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa, yakni Chen Jinwen atau yang lebih dikenal dengan Raden Patah/Fatah alias Panembahan Tan Jin Bun/Arya (Cu-Cu). Ia adalah pendiri kerajaan Demak di Jawa Tengah.

Walisongo dibentuk oleh Sunan Ampel pada tahun 1474. Mereka terdiri dari sembilan orang wali; Sunan Ampel alias Bong Swie Ho, Sunan Drajat alias Bong Tak Keng, Sunan Bonang alias Bong Tak Ang, Sunan Kalijaga alias Gan Si Cang, Sunan Gunung Jati alias Du Anbo-Toh A Bo, Sunan Kudus alias Zha Dexu-Ja Tik Su, Sunan Muria Maulana Malik Ibrahim alias Chen Yinghua/ Tan Eng Hoat, dan Sunan Giri yang merupakan cucu dari Bong Swie Ho.

Sunan Ampel (Bong Swie Ho) alias Raden Rahmat lahir pada tahun 1401 di Champa (Kamboja). Saat itu, banyak sekali orang Tionghoa penganut agama Muslim bermukim di sana. Ia tiba di Jawa pada 1443. Tiga puluh enam tahun kemudian, yakni pada 1479, ia mendirikan Mesjid Demak.

Belanda, yang sempat 'berperang' dengan para wali itu sempat tidak mempercayai bahwa sultan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa. Untuk memastikannya, pada 1928, Residen Poortman ditugaskan oleh pemerintah Belanda untuk menyelidikinya. Poortman lalu menggeledah Kelenteng Sam Po Kong dan menyita naskah berbahasa Tionghoa. Ia menemukan naskah kuno berusia ratusan tahun sebanyak tiga pedati.

Arsip Poortman ini dikutip oleh Parlindungan yang menulis buku yang juga kontroversial, Tuanku Rao. Slamet Mulyana juga banyak menyitir dari buku ini. Pernyataan Raden Patah adalah seorang Tionghoa ini tercantum dalam Serat Kanda Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun, yang dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai Senapati Jimbun.
Kata Jin Bun (Jinwen) dalam dialek Hokkian berarti 'orang kuat'. Cucu Raden Patah, Sunan Prawata atau Chen Muming/ Tan Muk Ming adalah Sultan terakhir dari Kerajaan Demak. Ia berambisi meng-Islamkan seluruh Jawa, sehingga apabila ia berhasil maka ia bisa menjadi "Segundo Turco" (seorang Sultan Turki ke II), sebanding sultan Turki Suleiman I dengan kemegahannya.

Kata Walisongo yang selama ini diartikan sembilan (sanga/songo) wali, ternyata masih memberikan celah untuk versi penafsiran lain. Ada yang berpendapat bahwa kata 'sanga' (dilafalkan sebagai 'songo' dalam Bahasa Jawa) berasal dari kata 'tsana' dari bahasa Arab, yang berarti mulia.

Pendapat lainnya menyatakan kata 'sanga' berasal dari kata 'sana' dalam bahasa Jawa yang berarti tempat.

Kata Sunan yang menjadi panggilan para anggota Walisongo, dipercaya berasal dari dialek Hokkian 'Su' dan 'Nan'. 'Su' merupakan kependekan dari kata 'Suhu atau Saihu' yang berarti guru. Disebut guru, karena para wali itu adalah guru-guru Pesantren Hanafiyah, dari mazhab Hanafi. Sementara 'Nan' berarti berarti selatan, sebab para penganut aliran Hanafiah ini berasal dari Tiongkok Selatan.

Perlu diketahui juga bahwa sebutan 'Kyai' yang kita kenal sekarang sebagai sebutan untuk guru agama Islam, dulu digunakan untuk memanggil seorang lelaki Tionghoa Totok, seperti pangggilan 'Encek'. Dan, sadar atau tidak, baju muslim yang kerap digunakan oleh laki-laki muslim Indonesia sangat mirip dengan pakaian ala China. Baju Koko dan penutup kepala putih dianggap berasal dari China, karena di negeri asal Islam, Timur Tengah, pakaian ini tidak dikenal.

Sangat dimungkinkan bahwa cerita ini mengandung kebenaran ( walaupun mungkin tidak semua Walisongo dari Cina ), karena saat itu penduduk lokal Jawa adalah masih Hindu-Buddha dan tentunya apabila ada suatu kebudayaan baru yang masuk maka pastilah dibawa oleh pendatang dari luar. Mengingat bahwa saat itu Cina sudah menjelajah ke berbagai belahan dunia termasuk di tanah Jawa maka dimungkinkan salah satu dari mereka adalah pembawa syiar agama Islam tersebut. 

Sumber:
* D. A. Rinkes "De heiligen van Java"
* Jan Edel "Hikajat Hasanoeddin"
* B. J. O. Schrieke, 1916, Het Boek van Bonang
* Utrecht: Den Boer – G.W.J. Drewes, 1969 The admonitions of Seh Bari : a 16th century Javanese Muslim text attributed to the Saint of Bonang, The Hague: Martinus Nijhoff
* De Graaf and Pigeaud "De eerste Moslimse Vorstendommen op Java"i
* "Islamic states in Java 1500 -1700?.
* Amen Budiman "Masyarakat Islam Tiongkok"
http://kenisah.blogspot.com

Thursday, March 3, 2016

Kisah Nyata (?)

AL-QUR'AN DAN SANG JENDERAL
(diangkat dari kisah nyata)

Suatu sore pada tahun 1525, penjara tempat orang tahanan terasa hening mencengkam. Jenderal Adolf Roberto, pemimpin penjara yg terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap sipir penjara membungkukkan badannya rendah² ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'jenggel' milik tuan Roberto yg fanatik ... itu akan mendarat di wajah mereka.

Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara² Ayat Suci yang amat ia benci.
"Hai ... hentikan suara jelekmu! Hentikan!!!" teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakkan mata.

Namun apa yang terjadi? Laki² di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dg khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yg luasnya tak lebih sekadar cukup untuk 1 orang.

Dg congkak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yg keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dg rokoknya yg menyala.

Sungguh ajaib ... tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yg pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata kepatuhan pada sang algojo, bibir keringnya hanya berkata lirih, "Rabbi, wa-ana 'abduka."

Tahanan lain yg menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustadz ... Insyaa Allah tempatmu di Syurga."
Melihat kegigihan orang tua yg dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak amarahnya.

Ia perintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras² hingga terjerembab di lantai.
"Hai orang tua busuk!! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak suka apa-apa yg berhubung dg agamamu!!"

Sang Ustadz lalu berucap, "Sungguh ... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yg amat kucintai, Allah Subhanahu wa ta'ala ... Karena kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yg amat bodoh."

Baru saja kata² itu terhenti, sepatu laras Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki² itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dg wajah bersimbah darah.

Ketika itulah dari saku baju penjaranya yg telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat².

"Berikan buku itu, hai laki² dungu!" bentak Roberto.
"Haram bagi tanganmu yg kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!" ucap sang ustadz dg tatapan menghina pada Roberto.

Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu laras berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari² tangan sang ustadz yg telah lemah. Suara gemeretak tulang yg patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto.

Laki² bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yg terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yg telah hancur.

Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yg membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yg telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.

"Ah ... sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini," suara hati Roberto bertanya-tanya.
Perlahan Roberto membuka lembaran pertama buku itu.

Pemuda berumur tiga puluh tahunan itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan² "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol. Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustadz yg telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yg dalam.
Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yg dialaminya sewaktu masih kanak². Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto.

Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak²nya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini.
Sore itu ia melihat peristiwa yg mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia).
Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa.
Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia.
Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang² besi yg terpancang tinggi.
Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yg kencang, membuat pakaian muslimah yg dikenakan berkibar-kibar di udara.

Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup² pada tiang² salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang bocah laki² mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yg telah senyap. Korban² kebiadaban itu telah syahid semua.

Bocah mungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yg terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi (ibu) yg sudah tak bernyawa, sembari menggayuti abayanya.

Sang bocah berkata dg suara parau, "Ummi ... ummi ... mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa ....? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi ..."

Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah.

Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi ... Abi ... Abi ..."
Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai ... siapa kamu?!" teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah.
"Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi," jawab sang bocah memohon belas kasih.
"Hah ... siapa namamu bocah, coba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka.
"Saya Ahmad Izzah ..." sang bocah kembali menjawab dg agak grogi.
Tiba² "plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah.
"Hai bocah ...! Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yg bagus. Namamu sekarang 'Adolf Roberto' ... Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yg jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki² itu.

Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto sadar dari renungannya yg panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yg melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi ... Abi ... Abi ..."

Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu.

Pikirannya terus bergelut dg masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yg ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapaknya, yg dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya.
Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bagian pusar.

Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yg amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yg sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi ... aku masih ingat alif, ba, ta, tsa ..."
Hanya sebatas kata itu yg masih terekam dalam benaknya.

Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yg membasahi wajahnya.
Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yg tadi menyiksanya habis²an kini tengah memeluknya. "Tunjuki aku pada jalan yg telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu ..." terdengar suara Roberto memelas.

Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dg buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dg susah payah masih bisa berucap, "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dg Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu."

Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dg berbekal kalimah indah, "Asyhadu an-laa Ilaaha illalloh, wa asyhadu anna Muhammadan Rasullulloh ...'.
Beliau pergi menemui Rabbnya dg tersenyum, setelah sekian lama berjuang di bumi yg fana ini.

Kemudian..
Ahmad Izzah mendalami Islam dg sungguh² hingga akhirnya ia menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk Islam, sebagai ganti kekafiran yg di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru dunia berguru dengannya. Dialah ... "Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy".
http://kenisah.blogspot.com