Sunday, July 17, 2016

Buya Maarif tentang Erdogan

Artikel Buya yg menarik, ditulis 27 Juli 2007...

Islam di Tangan Erdogan
Oleh : Ahmad Syafii Ma'arif

Sekalipun sekularisme Kemalis masih didukung oleh elit militer yang kaku dan keras kepala plus beberapa partai politik, sebagian besar rakyat Turki tampaknya sudah semakin muak dengan budaya politik yang serba duniawi lagi korup itu. Sekiranya rezim sekuler yang berdiri pada 29 Oktober 1923 mampu membawa Turki menjadi bangsa dan negara maju yang adil, tantangan populis terhadapnya tidak akan sehebat dan sedahsyat seperti sekarang ini. Sejarah belum tentu akan menyambut kedatangan Erdogan (Recep Tayyip Erdogan) dengan sikap penuh simpati. Di tangan Erdogan kita berharap bahwa Islam memberi solusi terhadap berbagai masalah domestik dan global dalam upaya membangun peradaban yang asri, bukan untuk menakuti dunia dengan membangun rezim primitif yang mengatasnamakan Tuhan.

Sebenarnya sudah sejak tahun 1950, 12 tahun pasca Kemal Ataturk (w। 1938), sebagian rakyat Turki yang 97% Muslim itu mulai bertanya mengapa mereka dipisahkan dengan Islam sebagai agama dan kekuatan kultural. Islam sudah mengakar dalam jiwa bangsa Turki selama rentang kurun yang panjang, sejak sekitar abad ke-10, pada saat Imperium 'Abbasiyah (749-1258) mulai melemah. Palu godam terakhir dipukulkan oleh Hulagu atas kota Baghdad pada 1258 yang menyudahi karier imperium yang sudah membusuk itu untuk selama-lamanya. Pewarisnya yang paling perkasa adalah Imperium Turki Usmani (1299-1924) yang bertahan hampir tujuh abad. Banyak catatan yang dapat direkam tentang imperium ini, baik yang mulia maupun yang keji. Yang mulia tidak akan diturunkan di sini, tetapi yang keji perlu diingat, agar kekuasaan yang dikaitkan dengan Islam harus bersikap ekstra hati-hati dengan agama ini. Erdogan dan partainya AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi/Partai Keadilan dan Pembangunan) harus bijak melangkah. Mereka harus belajar dari kelampauan secerdas mungkin.

Di antara kekejian yang mencoreng Imperium Turki Usmani adalah kelakuan Sultan Selim I (1512-1520), sultan ke-9, yang diberi julukan Yavuz (kejam dalam bahasa Turki). Demi kelangsungan dinasti Usmani, Selim tega membunuh dua saudara dan beberapa anak kandungnya sendiri untuk melapangkan jalan bagi anaknya yang lain, Sulaiman I (1520-1566) yang kemudian dikenal sebagai Sulaiman yang Agung. Di bawah Sulaiman, Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya, kemudian imperium yang sudah lelah ini redup secara berangsur tetapi pasti sampai lenyap pada 1924. Demi simpati berat saya kepada Erdogan, kekejaman Selim di atas jangan sampai hilang dari memori agar tidak sampai terulang, apa pun bentuk modernnya kekejaman itu, pada saat Islam sedang menjadi simbol politiknya. Jiwa saya akan memberontak sangat keras jika pembunuhan dan kekerasan politik terjadi lagi pada saat Islam mulai bernafas di Turki setelah sekian lama dipisahkan dari ruang publik.

Erdogan tentu menyadari bahwa perhatian dunia sedang tertuju kepadanya. Keberhasilannya membawa Islam ke panggung politik melalui proses demokrasi akan membelalakkan mata publik: ternyata Islam di tangan Erdogan adalah sebuah Islam yang ramah dan percaya diri, bukan Islam yang layak dimasukkan ke dalam museum sejarah. Saya sadar sepenuhnya dengan ungkapan yang digunakan ini. Bukan untuk apa-apa, tetapi karena saya hampir kehilangan kepercayaan pada rezim yang membawa-bawa Islam hanya sebagai tameng demi menutupi ambisi kekuasaan yang sering a-moral. Erdogan tampaknya berbeda.

Siapa Erdogan? Politisi kelahiran 1954 dan jago bola ini adalah sarjana manajemen dari Universtas Marmara, Istanbul. Tahun 1970 dalam usia belia ia sudah terjun ke dunia politik lewat MSP (Milli Selamet Partisi/Partai Orde Nasional) pimpinan Dr Necmettin Erbakan, sebuah partai yang dicurigai militer karena dianggap anti sekularisme. Kemudian terjadi kudeta militer tahun 1980. Rezim berkuasa melarang semua parpol. Saat itu Erdogan bekerja pada Otoritas Transportasi Istanbul. Aneh bin ajaib, bosnya menyuruh Erdogan mencukur kumisnya karena dikatakan berbau Islam. Erdogan menampik, lalu ia ke luar untuk kemudian memasuki dunia bisnis dan politik. Sekularisme Turki ternyata juga mengurus kumis, tetapi gagal mengurus kemakmuran rakyat.

Tahun 1983 saat angin demokrasi bertiup di Turki, Erdogan menyertai partai RP (Refah Partisi/Partai Kemakmuran), juga pimpinan Erbakan. Tahun1994 Erdogan terpilih jadi wali kota Istanbul, sebuah kota metropolitan terbesar dengan pernduduk sekitar 10 juta. Karena RP selalu dicurigai politisi sekuler, maka pemerintah membubarkan RP. Erdogan dianggap dapat menggoncangkan bangunan sekularisme setelah ia membacakan puisi yang bernuansa Islam. Dia ditangkap kemudian dihukum 10 bulan, tapi entah apa sebabnya tiba-tiba dikurangi menjadi empat bulan. Sebagai politikus berbakat dan cerdik, setelah pembebasannya Erdogan tidak menyia-nyiakan peluang politik yang semakin terbuka. Pada tahun 2001 partai baru AKP dibentuknya, sebagaimana telah sedikit disinggung di atas. Ibarat menjolok buah ranum yang hampir jatuh, dalam pemilu Nopember 2002 AKP ke luar sebagai pemenang dengan meraup 363 dari 550 kursi kursi yang tersedia di parlemen.

Dunia sekuler Turki sempoyongan.Tetapi selalu saja dicegah agar Erdogan jangan sampai menjadi perdana menteri dengan mengaitkan dosa baca puisi yang dianggap anti sekuler itu. Tetapi Erdogan tidak kehilangan akal. AKP cepat mendukung upaya amendemen konstitusi yang membuka jalan baginya untuk jadi perdana menteri, dan berhasil. Bulan Maret 2003 ia dilantik jadi perdana menteri. Popularitasnya semakin berkibar tak terbendung lagi. Dalam Pemilu Juli 2007 untuk kedua kalinya AKP meraih kemenangan dengan 341 kursi di parlemen. Harapan kita agar tokoh berkumis ini padai-pandai meniti buih agar selamat membawa Islam sampai ke seberang. Di tangan Erdogan Islam menawarkan solusi, bukan slogan formalisme seperti yang diusung oleh berbagai kelompok yang buta realitas. Selamat Erdogan, tidak mudah bagi anda menghapus citra Islam yang dituduh orang sebagai agama anti demokrasi. You are on the right track, for sure! (Diramu dari berbagai sumber)
Jogjakarta, 27 Juli 2007