Sunday, May 28, 2017

MALU AKU JADI ORANG INDONESIA

http://www.portal-islam.id/2017/04/taufik-ismail-malu-aku-jadi-orang.html

*MALU AKU JADI ORANG INDONESIA*
(Karya Taufik Ismail)

Di negeriku yang didirikan pejuang religius
Kini dikuasai pejabat rakus
Kejahatan bukan kelas maling sawit melainkan permainan lahan duit

Di negeriku yang dulu agamis
Sekarang bercampur liberalis sedikit komunis
Ulama ulama diancam karena tak punya pistol
Yang mengancam tinggal dor

Hukum hukum keadilan tergadai kepentingan politis
Akidah akidah tergadai materialistis

Aku hidup di negara mayoritas beragama Islam
Tapi kami tersudut dan terancam
Telah habis sabarku
Telah habis sabar kami

Pada presiden yang tak solutif
Pada dewan dan majelis yang tak bermufakat
Pada semua bullshit yang menggema saat pemilu
Pada nafsu yang didukung asing dan aseng
Rakyat kelas teri tak berdosa pun digoreng

Kusaksikan keindahan negara yang menegakkan khilafah
Diceritakan hidup mereka sejahtera
Lalu ditanyai dari mana asalku
Kusembunyikan muka
Tak kujawab aku dari Indonesia
Negara yang kini tumbuh benih islamophobia

Tuesday, May 16, 2017

De-Islamisasi Indonesia


Oleh : Felix Siauw

Yang namanya kebetulan itu terjadi satu dua kali masih wajar, tapi bila terjadi berkali-kali, maka itu bisa disebut modus. Dalam matematika modus biasanya punya pola

Tidak hanya pola, tapi modus biasanya juga berisi sebuah pesan dari perancangnya, baik ia sadari ataukah tidak, dari situ kita bisa melihat yang harusnya tak terlihat

Kejadian akhir-akhir ini menunjukkan kepada kita pola tersebut, sebab terlalu banyak kebetulan yang terjadi. Yang bisa kita lihat, ada upaya sistematis de-Islamisasi

Negeri ini mayoritasnya Muslim, pemerintahnya pun Muslim, tapi aksi de-Islamisasi ini sesungguhnya sudah berjalan sangat lama, dari negeri ini merdeka bahkan

Pelaku de-Islamisasi ini berusaha mereduksi peran Muslim dalam kemerdekaan Indonesia, juga mengaburkan fakta bahwa Islamlah yang menjadi inspirasi kemerdekaan

Lebih daripada itu, pelaku de-Islamisasi ini mencoba menutup fakta bahwa dulu penjajah itu datang membawa 3G yang mana itulah sumber kesengsaraan ummat di nusantara

Adalah gold (emas), gospel (injil), glory (jaya), yang mewakili kepentingan kapitalis, misionaris, dan imperialis. Mereka tak hanya inginkan harta, tapi juga tahta dan agama

Maka bangkitlah perlawanan kaum Muslim oleh para ulama, yang menyeru kaum Muslim menegakkan agama Islam, yang memang musuh alami dari keserahakan

Dari ujung barat hingga timur bergejolak, ulama memberi fatwa bahwa membela tanah dan harta bagian dari seruan agama, sebab memang begitulah penjagaan dalam Islam

Negeri ini berhasil dimerdekakan dari penjajah, agar tak lagi pecah dan terjajah, maka disatukanlah dengan semangat yang memerdekannya, yaitu karena Allah

Sejarah menghantarkan kita bagaimana modus ini bermula dari hilangnya 7 kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", lalu berlanjut

Islam yang menginspirasi perjuangan gagal diinstall dalam negeri tercinta, ulama-ulama yang memperjuangkannya lalu ditekan, bahkan dikriminalisasi

Belum usai sampai disitu, tokoh-tokoh Islam seperti Muhammad Natsir dan Buya Hamka pun kembali melanjutkan cita-cita ulama pendahulu seperti Ki Bagus Hadikusumo

Sejarah kembali mencatat, upaya de-Islamisasi itu kembali berhasil, syariat Islam kembali gagal menjadi dasar negara, yang memperjuangkannya lalu dipenjara

Tahun demi tahun berganti, namun upaya menjauhkan Islam dari kaum Muslim tak berhenti, sekulerisasi mulai merata di seantero negeri, Muslim tapi tak paham Islam

Islam direduksi hanya sekedar ibadah ritual, sementara Allah seolah hanya ada di masjid dan bulan ramadhan, negara seolah steril dari pengawasan dan hukum Allah

Sementara penjajahan gaya baru mulai mencengkram negeri ini, kekayaan Indonesia dikuasai segelintir, tapi para kapitalis tidak puas, mereka inginkan lebih lagi, seluruh negeri

Bila selama ini para kapitalis puas hanya membackup mereka yang berkuasa, kini mereka ingin lebih, mereka ingin jadi penguasa itu sendiri, lebih leluasa

3G itu seolah berulang kembali, Gold-Gospel-Glory, mereka mulai menggunakan pengaruhnya lewat politik pencitraan, tak mau lagi salah kedua kalinya

Bila dulu mereka gagal lewat penjajahan fisik, maka mereka sudah belajar, sekarang mereka coba masuk lewat perang pemikiran, penjajahan model baru

Hampir saja mereka berhasil, hanya saja Allah berkehendak lain, terjadilah kasus Al-Maidah 51, lidah si penista jadi blunder bagi rencana besar penjajah model baru ini

Ummat Muslim seolah bangkit dari tidur panjangnya, momen ini seolah teguran Allah sekaligus penyatu segenap ummat. Dengan gagahnya ummat membela Al-Quran

Gerakan aqidah yang awalnya diremehkan ini menjadi gelombang raksasa yang siap melumat apapun, namun tetap santun dalam aksinya, berakhlak mulia

Ummat tak segan-segan mengorbankan hartanya, silaukhuwah dengan mudah terjalin antar gerakan Islam, kelompok Islam bersatu turun ke jalan membela agamanya

Airmata berderai saat menyaksikan kalimat takbir, tahmid, tahlil, berpadu dengan kibar bendera tauhid, senyum-senyum ikhlas yang takkan terlupakan sampai kapanpun

Disinilah para penjajah menjadi gerah, rencana mereka bisa hancur bila kaum Muslim bersatu dan sadar apa yang terjadi, semangat Islam naik secara drastis

Mulailah polarisasi dilakukan untuk meredam kaum Muslim, khas cara syaitan menakut-nakuti manusia. Muncullah tuduhan-tuduhan pada mereka yang membela agamanya

Mulai dari makar, menggoyang negara, kudeta, sampai anti-kebhinekaan, anti-pancasila, anti-NKRI, termasuk radikal, ekstrim dan benih terorisme

Tapi ummat tak lekang keberaniannya, aksi 411 diikuti 212 begitu herois, mereka tahu persis karena Allah saja mereka bergerak, maka mereka tak takut apapun

Ancaman ditingkatkan, ulama-ulama yang terkait aksi #BelaIslam dikriminalisasi, dicari-cari alasan untuk menjerat, mulai dari prasangka hingga murni fitnah

Dari cara legal sampai cara nakal, kepercayaan terhadap ulama terus digerus, para penjajah menggunakan seluruh kartu yang bisa mereka mainkan, at all cost

Sementara sang penista berusaha terus-menerus diselamatkan, mulai dari menuduh penyebar video sebagai penyebabnya, sampai aksi #BelaIslam adalah bayaran

Mereka menggelari sang penista dan komplotannya dengan simbol kebhinekaan, paling pancasila, paling NKRI, sunan, santri kehormatan, pokoknya dewa

Ummat tak berhenti, karena Allah yang menggerakkan mereka, bahkan saat jaksa mencoba memainkan tuntuntan, ummat tetap setia mengawal hukum agar ditegakkan

Alhamdulilah, sang penista mendapatkan hukumannya. De-Islamisasi yang mereka rancang sedari dulu berantakan, ummat malah makin dekat dengan Islamnya

Tapi para penjajah ini tak mau berhenti, the show must go on. Maka dimainkanlah modus lama, de-Islamisasi degan cara yang lebih keras, lebih kasar, tak terhormat

Bila Natsir dan kawan-kawan dulu dianggap pembangkang dan pemberontak, hari ini gelar ini juga diberikan pada mereka yang konsisten untuk memperjuangkan syariat Islam

Dan Hizbut Tahrir mendapatkan kehormatan pertama kali untuk masuk dalam ujian ini. Wacana pembubaran dilempar, lalu lihat bagaimana reaksi ummat Muslim semuanya

Yang ingin saya sampaikan sedari tadi, masihkah kita tak sadar bahwa ini rangkaian de-Islamisasi yang sama sejak masa penjajahan? Hanya saja beda penjajahnya

Arus Islam yang sedemikian kuat dan dahsyat ini harus dibuat lemah. Bagaimana caranya? Bubarkan mereka, adu kelompok yang tersisa, buat saling tidak percaya

Kali ini fitnah semua sudah mengarah kesana, dan ujian kini bagi kita kelompok Islam adalah bagaimana tetap menyatu dan membahu menghadapi de-Islamisasi ini

Apalah Hizbut Tahrir dibandingkan kelompok lain di negeri ini, hanya saja kita perlu ketahui, ini bagian pelemahan kekuatan ummat, satu persatu akan mendapat giliran

Masyumi dulu pernah merasakan hal yang sama, tokoh-tokoh Islam yang sekarang kita kagumi pun pernah mendapatkan tuduhan yang sama, itu modus bukan kebetulan

Di sisi lain, gerakan-gerakan yang mendukung penista agama walau anarkis terkesan dibiarkan, tak seperti aksi #BelaIslam yang bahkan mujahid Camis harus berjalan kaki

Hari ini Hizbut Tahrir diwacanakan dibubarkan, wacana FPI untuk dibubarkan pun sudah diramaikan, yang berada di depan dalam amar ma'ruf nahi munkar, dihabisi dulu

Kini ujian itu di depan mata kita, mampukah kita solid untuk senantiasa bersama dalam perjuangan ini, hingga Allah berkenan menyatukan hati-hati kita

Yang jelas, cara-cara keras, kasar dan tak terhormat ini takkan dilakukan bila tidak ada kepanikan. Bahwasanya para penjajah itu tahu Islam di ambang kebangkitan

Para penjajah itu mungkin sudah merancang segalanya, tapi Allah pun sudah merancang yang lainnya, dan adalah Allah yang paling indah rancangannya

Upaya de-Islamisasi akan terus mereka lanjutkan, dan kita pun akan tetap melanjutkan dakwah apapun urusannya. Sebab dakwah takkan pernah terhenti

Thursday, May 11, 2017

*Hizbut Tahrir Indonesia, Jokowi, dan Taxi Online*


Oleh : Hersubeno Arief
Konsultan Media dan Politik

Apa kalkulasi dan target politik pemerintahan Jokowi mengajukan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)? 

Dari sisi hukum perdebatannya bisa sangat panjang. Namun dari sisi perubahan sosio-demografis  dan sosio-politis jawabannya menjadi sangat sederhana.

Jokowi dan orang-orang di pemerintahannya, terutama beberapa orang dekatnya gagal memahami adanya sebuah perubahan besar. Dalam bahasa anak muda sekarang "gagal paham." 

Di era digital yang segala sesuatunya berubah sangat cepat, pemahaman  dan adaptasi terhadap perubahan itu sangat penting. Sebuah keniscayaan, hukum alam yang tidak bisa ditentang.

Setidaknya ada tiga penyebab  mengapa Jokowi dan beberapa pembantu dekatnya seperti Luhut Binsar Panjaitan gagal paham. *Pertama,* _cultural shock_ generasi _digital immigrant._ *Kedua,*kegagalan memahami  perubahan prinsip _owning_ ke _sharing._ *Ketiga,* kegagalan memahami  sosio-demografis dan politis umat Islam.

*_Cultural  shock_* *generasi _digital immigrant_*

Jokowi dan orang-orang dekatnya  adalah generasi yang lahir tahun 1950-1960an. Beberapa diantaranya malah ada yang lahir di era 1940an. Sementara secara demografis sebagian besar  penduduk Indonesia adalah generasi yang lahir di tahun 1970-1990an.

Generasi yang lahir di era 1970an ke atas adalah generasi yang tumbuh bersama munculnya era internet yang  kemudian  disebut sebagai era digital.

Mereka yang tumbuh di tahun-tahun tersebut, bahkan termasuk yang lahir di tahun 2000an,  adalah generasi yang kesehariannya akrab dengan berbagai teknologi modern yang bersifat digital. _Digital freak_, _gadget freak._Makanya mereka disebut sebagai generasi  _digital native,_ pribumi, penduduk asli.

Sementara generasi sebelumnya, termasuk Jokowi walaupun mengerti dan menggunakan gadget, mereka adalah _digital immigrant,_ penduduk pendatang, alien.

Walaupun sudah mendapat _green card_ dengan status _permanent resident,_ tapi namanya juga pendatang pasti banyak mengalami kekagetan budaya.

Ingin siy bergaul, ingin siy terlibat langsung, namun tetap saja ada kegagapan, ada gegar budaya.

Analogi yang mudah, kira-kira begini. Generasi imigran ini  secara ekonomi sudah mapan, mereka bisa membeli berbagai gadget yang mahal dan fitur yang canggih, namun penggunaannya terbatas.
Kalau toh mereka bisa memanfaatkannya paling hanya untuk foto, sms dan yang sudah lumayan canggih memanfaatkan fitur medsos seperti WA Group atau kalau dulu BBM. Fitur-fitur lain yang sangat canggih, jangan cerita. Dalam bahasa anak sekarang, *_gaptek abis dah._*

Sebaliknya generasi  _digital native_ terutama yang lahir tahun 1990-2000 walaupun hanya bisa membeli gadget buatan Cina,  namun mereka mereka bisa meng-oprek habis berbagai fiturnya. Bahkan terkadang sampai jebol.

Yang rada serem adalah generasi 1970-1980an. Mereka punya uang,  bisa beli gadget dengan fitur yang canggih dengan kemampuan meng-oprek yang yang luar biasa.

Mereka benar-benar terintegrasi dalam dunia digital. Mulai dari  bisnis, mencari teman, mencari jodoh, menggalang kekuatan sosial, ekonomi dan politik melalui dunia digital.

Soal-soal yang begini tidak akan dipahami oleh Jokowi dan orang-orangnya. Benar bahwa Jokowi dan para pembantunya bermain _Twitter, IG, Facebook_ dan lain-lain, tapi berani bertaruh kebanyakan dioperasikan oleh para adminnya. Jadi ya tidak _genuine._

Dalam konteks demokrasi analogi gadget tadi juga bisa kita gunakan. Jokowi dan orang-orang dekatnya terlibat dalam proses demokrasi. Tapi fitur demokrasi yang mereka pahami hanya sebatas pilkada dan pilpres.

Padahal fitur demokrasi tidak hanya sebatas itu, ada masalah kebebasan berpendapat, termasuk melakukan kritik terbuka terhadap pemerintah, HAM, kesamaan gender  dan lain lain.

*_Prinsip owning dan sharing_*

Konskuensi dari era digital yang sangat terasa adalah pada prinsip ekonomi yang tadinya _owning,_ kepemilikan, menjadi _sharing,_ berbagi.

Contoh nyata terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan juga kota-kota besar dunia lainnya adalah keterkejutan operator taxi konvensional atas hadirnya taxi berbasis aplikasi atau sering disebut taxi online.

Hadirnya  Uber, Gojek, Grab  dan kawan-kawan membuat taxi konvensional sekelas Blue Bird terkaget-kaget.

Gagal bersaing dan merasa terancam oleh taxi online,  para pengemudi melakukan unjuk rasa, bahkan sampai terjadi bentrokan. Namun namanya sebuah keniscayaan ya sulit dilawan. Para pengguna tetap memilih taxi online karena nyaman, murah, pasti dan aman.

Cukup tunggu dirumah panggil melalui aplikasi, harga murah dan pasti. Bandingkan dengan taxi konvensional yang harus menunggu di pinggir jalan atau setidaknya order lewat telefon. Belum lagi tarifnya lebih mahal.

Gagal dengan demo, akhirnya mereka melobi pemerintah untuk membuat regulasi yang ketat. Tapi aturan tersebut tetap tidak efektif. Pilihannya terus menentang, menghambat atau beradaptasi.

Lantas apa hubungannya dengan Jokowi?  Sebagai generasi _digital immigrant,_ Jokowi  dan orang-orangnya tidak menyadari bahwa era digital mengubah semua struktur dan tatanan kehidupan, termasuk dalam soal  demokrasi, pemerintahan dan kekuasaan.

Jokowi walaupun hidup dalam era demokrasi, namun menjalankan pemerintahannya masih menggunakan  paradigma lama, penguasa, bukan pelayan rakyat yang dipilih melalui pemilu.

Akibatnya ketika ada suara-suara kritis yang dilakukan, mereka  masih menggunakan _manual book_ yang lama.

Makanya tidak mengagetkan ketika muncul gelombang Aksi Bela Islam  karena penistaan agama oleh Ahok, dihadapi  dengan cara  labelisasi,  kelompok radikal, tidak bhineka, anti NKRI. Bila jurus ini tidak mempan, maka  dilakukan kriminalisasi. Masih tidak mempan juga, lancarkan jurus  yang lebih ampuh berupa tuduhan makar. Nah bila tuduhan makar juga tidak mempan, ya bungkam.

Ini mirip-mirip apa yang dilakukan  Soeharto pada masa Orde Baru menggunakan kosa kata "gebuk"  untuk para pengritiknya yang dianggap melampaui batas.

Semua itu  _manual book_ lama, buku panduan lama   masih digunakan orang seperti Luhut  yang dengan gagah berani  pasang badan untuk proyek reklamasi. 

Ingat Luhut adalah tentara yang pada masa Orde Baru adalah alat paling efektif  menopang kekuasaan Soeharto. Jadi sikapnya seperti itu tidak mengherankan.

Sayangnya belakangan Wiranto kok  juga ikut-ikutan dengan rencana pembubaran HTI. Padahal sebelumnya Wiranto  adalah salah satu  pembantu Jokowi yang paling bisa berdialog dengan kalangan ulama. Sekarang dia ikut membakar jembatan.

Bagi generasi yang pernah hidup di masa Orde Baru, pola seperti itu tidak mengagetkan. Sudah hapal luar kepala.
Jokowi masih berpikir bahwa dengan menjadi presiden, maka dia adalah penguasa.

Dia lupa bahwa pada era demokrasi menjadi presiden adalah mandat dari rakyat. Di era digital kekuasaan itu bukan _owning,_ kepemilikan, tapi _sharing,_ harus berbagi, menjadi milik bersama.

Bila muncul suara kritis, bukan  pukul, tapi rangkul. Tanya pada mereka, ada apa? Apakah ada yang bisa kita bicarakan? Apakah bisa kita lakukan kompromi, mencari jalan keluar bersama.

Bila tetap bersikukuh dengan prinsip mandat dari rakyat adalah kepemilikan kekuasaan, maka dapat dipastikan  Jokowi dan orang-orangnya akan bernasib sama dengan taxi konvensional, ditinggalkan para pelanggannya.

Mereka akan memilih pemimpin yang paham prinsip _sharing power,_ bukan _owning power_ seperti Jokowi yang ketika diberi mandat, kemudian lupa diri dan bertindak sebagai penguasa.

*Sosio-demografis dan politis*

Secara demografis komposisi penduduk Indonesia didominasi oleh usia muda yang produktif. Para ahli kependudukan banyak melihat kesamaan komposisi demografis Indonesia mirip Jepang setelah Perang Dunia II.

Mereka ini adalah kelas menengah yang mandiri dan sangat terkoneksi dengan dunia digital.

Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka kelas menengah ini juga didominasi oleh anak-anak muda Islam.

Mereka sangat terdidik, berpikiran terbuka, secara ekonomi mandiri dan yang menarik,  _ghirah_ atau  semangat keagamaannya sangat baik.

Mereka inilah sebenarnya yang melalui  medsos  menjadi faktor penggerak hingga jutaan orang bisa berkumpul dalam berbagai Aksi Bela Islam.

Sayangnya lagi-lagi Jokowi melalui kepolisian gagal memahaminya. Mereka menakut-nakuti. Melakukan penghadangan. Mengancam para pemilik bus yang digunakan untuk ke Jakarta. Semuanya gagal.
Mengapa?  Polisi tidak memahami arus perubahan yang tengah terjadi.

Selain itu hal penting lain yang tampaknya gagal  dipahami oleh Jokowi dan orang-orangnya,   Aksi Bela Islam memunculkan fenomena baru menyatunya berbagai _harakah_ (gerakan) Islam yang sebelumnya tidak pernah bisa menyatu.

Silakan sebut apa saja nama aliran dan ormas Islam yang ada di Indonesia, mulai dari yang qunut dan tidak qunut, tahlil tidak tahlil, Salafi, Wahabi, Jamaah Tabligh dan berbagai perbedaan _khilafiyah_ lainnya, semua tumpah ruah menyatu dalam Aksi Bela Islam, termasuk di dalamnya  massa dari  HTI. Bahkan warga NU  yang secara formal dilarang ikut aksi oleh PBNU, bisa dipastikan menjadi penyumbang terbesar massa Aksi Bela Islam.

Tidak mengagetkan ketika kemudian pemerintah memutuskan untuk mengajukan pembubaran HTI ke pengadilan, maka reaksi yang sangat keras muncul  dari kalangan umat Islam tanpa memandang apa latar belakang _harakah-_nya.

Pemerintah tadinya menilai  HTI  sebagai mata rantai terlemah dan ikatannya juga paling kendur dalam komunitas umat. Makanya HTI kemudian dipilih sebagai _test case_. Bila HTI berhasil dibubarkan,  pemerintah dipastikan akan mulai mengincar mata rantai-mata rantai yang lain dan pada gilirannya semua ikatan mata rantai umat Islam bisa dipatahkan.

Pilihan HTI sebagai korban pertama sesungguhnya tidak salah-salah amat. Kendati terlibat dalam berbagai Aksi Bela Islam, tapi dalam Pilkada DKI secara formal HTI tidak terlibat alias Golput.

HTI juga mengusung isu khilafah yang banyak ditolak oleh _harakah-harakah_ lainnya, terutama NU yang mengusung ide Islam Nusantara.

Namun yang nampaknya gagal dipahami oleh Jokowi,  bahwa secara _manhaj_HTI adalah ahlussunah waljama'ah, sama dengan harakah lainnya. HTI  berbeda dengan Syiah ataupun Ahmadiyah, yang dinilai bukan Islam.

Jadi kalau yang mau dibubarkan  Syiah dan Ahmadiyah  dijamin umat Islam tidak akan ribut. Pasti pemerintahan Jokowi akan didukung penuh.

Prinsip dasar bahwa sesama Islam adalah bersaudara, pasca Aksi Bela Islam ikatannya kembali menguat, bahkan sangat  kuat. Ibarat sebuah tubuh ketika  bagian tertentu disakiti, maka yang lain juga akan merasa sakit.

Itulah yang dirasakan umat Islam Indonesia dan menjelaskan mengapa mereka sangat solid menyikapi pembubaran HTI.

Kegagalan Jokowi dan orang-orangnya memahami berbagai perubahan sosio-demografis dan politis menjelaskan mengapa kemudian banyak blunder politik yang dilakukan Jokowi dalam kaitannya dengan umat Islam.

*Alih-alih membangun banyak jembatan untuk mengatasi berbagai perbedaan, Jokowi malah membakarnya. Maklumlah namanya juga gagal paham* end

Sunday, May 7, 2017

Ke-Bineka-an versi Din

Din Syamsuddin: Siapa yang Intoleran dan Antikebinekaan?

JAKARTA. Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsuddin mengatakan, tuduhan terhadap umat Islam sebagai intoleran dan antikebinekaan sungguh menyakitkan hati. Padahal, jasa dan peran umat Islam sangatlah besar dalam penegakan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, sejak masa perlawanan terhadap penjajahan hingga perjuangan menegakkan kemerdekaan.

Begitu pula, kehidupan nasional Indonesia yang relatif stabil dari dulu hingga sekarang adalah karena toleransi tinggi umat Islam yang hidup berdampingan rukun dan damai dengan segenap saudara sebangsa dan setanah air. Toleransi tersebut ditegakkan tanpa memandang Suku, Agama, Ras, dan (Antar) Golongan.

"Tidak dapat dibayangkan keadaan Indonesia jika umat Islam tidak toleran," kata Din dalam siaran pers Jumat (5/5).

Din melanjutkan, kelompok umat Islam yang juga didukung oleh elemen-elemen lain memprotes penistaan agama adalah karena penistaan itu mengganggu kerukunan dan menggoyahkan kebinekaan. Menurutnya, begitu juga ketika mereka menggugat ketidakadilan ekonomi adalah karena itu bertentangan dengan Sila Kelima Pancasila.

"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa mereka menggugat ketidakadilan hukum adalah karena negara kita adalah Negara berdasarkan hukum," kata Din.

Maka dari itu, Din mempertanyakan siapa sebenarnya yang intoleran dan antikebinekaan? Apakah pihak yang memrotes penistaan terhadap pihak lain karena mengganggu kerukunan, dan menggugat ketidakadilan ekonomi dan hukum. Atau justeru pihak yang mendukung pengganggu kerukunan dan antikebinekaan dengan memasuki wilayah keyakinan orang lain.

"Serta mendukung (atau didukung oleh) para pemilik modal yang karena kekayaannya ingin mendiktekan kehidupan nasional sambil berkacak pinggang atas penderitaan mayoritas rakyat?" kata Din.

Menurut Din, ini saatnya masyarakat menegakkan kerukunan sejati, bukan kerukunan semu yang mendukung penghinaan terhadap pihak lain. Apalagi, kerukunan rancu dengan menuduh pihak pemprotes penghinaan terhadap pihak lain sebagai intoleran dan antikebinekaan.

"Saatnya nalar bangsa dijernihkan, saatnya nurani bangsa diputihkan dari kecenderungan manipulasi dan pemutarbalikan fakta, 'Katakanlah, jika kebenaran tiba, kebatilan akan sirna (QS 17:81)'," kata Din. Dilansir republika.co.id

Monday, May 1, 2017

*Tausiyah Kebangsaan Dewan Pertimbangan MUI Hasilkan Enam Poin*

*Tausiyah Kebangsaan Dewan Pertimbangan MUI Hasilkan Enam Poin*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melaksanakan rapat pleno ke-17 di Kantor MUI pada Rabu (26/4). Rapat kali ini mengusung Tema Membangkitkan Marwah Politik Umat Islam. Melalui rapat pleno tersebut Dewan Pertimbangan MUI melahirkan enam poin Taushiyah Kebangsaan.

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, KH Didin Hafidhuddin menyampaikan Dewan Pertimbangan MUI didorong rasa tanggung jawab keagamaan, kebangsaan dan kewajiban melakukan amar makruf nahi munkar untuk kemaslahatan umum, Dewan Pertimbangan MUI menyampaikan *enam poin tausiyah kebangsaan*.

*"Pertama,* kehidupan bangsa dewasa ini, terutama terkait pilkada serentak dan hal-hal yang mengitarinya telah menimbulkan perbedaan pandangan dan kepentingan politik yang tajam yang nyaris membawa perpecahan bangsa," kata KH Didin saat membacakan tausiyah Kebangsaan di Kantor MUI, Rabu sore (26/4).

Ia mengatakan, keadaan saat ini diperparah oleh pertentangan pendapat dan sikap terhadap kasus penistaan agama serta proses peradilannya. Oleh karena itu, Dewan Pertimbangan MUI berpesan agar tidak terjebak dalam pertentangan dan permusuhan. Perbedaan aspirasi dan kepentingan politik tidak harus membawa perpecahan. Persaudaraan kebangsaan tidak harus sampai terganggu.

*Poin kedua,* sikap dan pandangan keagamaan MUI tentang kasus penistaan agama pada 11 Oktober 2016 diperkuat serta didukung Taushiyah Kebangsaan Dewan Pertimbangan MUI pada 9 November 2016. Maka kesimpulannya harus dilakukan penegakan hukum secara berkeadilan, transparan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Ia mengungkapkan, Dewan Pertimbangan MUI tidak bermaksud mencampuri proses peradilan. Namun, proses peradilan atas kasus penistaan agama secara kasat mata telah menunjukan hal yang patut diduga adanya campur tangan lain. Campur tangan tersebut ditunjukkan dengan adanya penundaan penuntutan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Juga JPU yang cenderung membebaskan terdakwa.

"Maka Dewan Pertimbangan MUI menilai bahwa tuntutan itu telah mengusik rasa keadilan masyarakat, khususnya umat Islam," ujarnya.

KH Didin menegaskan, Dewan Pertimbangan MUI memesan kepada lembaga penegak hukum agar berhati-hati dan berhenti dari kecenderungan mempermainkan hukum. Kemudian *poin ketiga* Taushiyah Kebangsaan, Dewan Pertimbangan MUI mengajak penyelenggara negara khususnya lembaga penegak hukum untuk bersungguh-sungguh dan secara konsisten serta konsekuen menegakkan hukum secara berkeadilan.

Jika ada campur tangan pemerintah dalam proses penegakan hukum, menurutnya, hal tersebut akan berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan (distrust). Kemudian membawa sikap ketidaktaatan (disobedience) rakyat terhadap hukum dan penegakan hukum. Jika ketidakadilan hukum terjadi, maka rakyat akan mudah bangkit dan bergerak untuk memprotes demi tegaknya kebenaran serta keadilan.

KH Didin melanjutkan, *poin yang keempat*, Dewan Pertimbangan MUI mengajak semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat, umat berbagai agama mengembangkan toleransi dan wawasan kebinekaan sejati. Hal itu adalah budaya dan etika untuk tidak memasuki wilayah keyakinan pihak lain dan tidak mengganggu hal-hal suci yang dianut pihak lain. Hal ini dilakukan dalam rangka memelihara keamanan negara dan kerukunan bangsa.

*"Kelima,* sehubungan dengan situasi dan kondisi kehidupan bangsa akhir-akhir ini, seyogyanya segenap penyelenggara negara tidak terbelenggu dan tersandera oleh satu faktor perusak dan pemecah belah bangsa. Terlalu rendah derajat kita jika hal itu terjadi dan terlalu mahal harga yang harus dibayar jika kerusakan dan perpecahan terjadi di negeri ini," jelasnya.

Ia menegaskan, *poin keenam*, Dewan Pertimbangan MUI menghimbau seluruh umat Islam sebagai umat mayoritas di negeri ini untuk menjadi perekat bangsa dan mengedepankan akhlak agung dalam melakukan muamalah secara nasional. Di samping itu umat Islam dituntut untuk mengokohkan ibadah dan tazkiyatun nafs dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.

sumber:
https://goo.gl/EInyMa