Sunday, November 22, 2015

MENGAPA SUSAH SHALAT MALAM [TAHAJUD] ?

Ibrahim bin Adam pernah didatangi oleh seseorang untuk meminta nasehat agar ia bisa mengerjakan shalat malam (# tahajud).
Beliau kemudian berkata kepadanya, "Janganlah engkau bermaksiat kepada Allah Azza Wajala di siang hari, niscaya Allah akan membangunkanmu untuk bermunajat di hadapan-Nya malam hari. Sebab munajatmu di hadapan-Nya di malam hari merupakan
kemuliaan yang paling besar, sedangkan orang yang bermaksiat tidak berhak mendapatkan kemuliaan itu."

Sementara Fudhail bin Iyadh berkata, "Jika engkau tidak mampu menunaikan shalat malam dan puasa di siang hari, maka ketahuilah bahwa engkau sebenarnya sedang dalam keadaan terhalang, karena dosa-dosamu begitu banyak."

Seseorang datang kepada Imam Ghazali untuk menanyakan kepada Beliau mengenai sesuatu yang menyebabkannya tidak bisa bangun malam untuk mengerjakan shalat. Beliau menjawab, "Dosa-dosamu telah membelenggumu."

Al-Hasan berkata, "Tidaklah seseorang meninggalkan shalat malam kecuali karena dosa yang dilakukannya. Oleh karena itu, periksalah diri kalian setiap malam ketika matahari terbenam, kemudian bertaubatlah kepada Robb kalian, agar kalian bisa mengerjakan shalat malam."
Dalam kesempatan lain, beliau menjelaskan, "Di antara pertanda
seseorang itu tenggelam dalam dosa adalah bahwa dadanya tidak
pernah lapang untuk bisa mengerjakan puasa di siang hari dan mengerjakan shalat sunnah di malam hari."

Sufyan Ats-Tsauri berkata, "Aku pernah terhalang (tidak bisa
bangun) untuk mengerjakan shalat malam selama lima bulan
disebabkan satu dosa yang telah aku lakukan."
Ditanyakanlah kepada beliau, "Dosa apakah itu? "Beliau menjawab,
"Aku melihat seorang laki-laki yang menangis, lalu aku katakan di dalam hatiku bahwa itu dilakukannya sebagai bentuk kepura-puraan saja."

Abdullah bin Mas'ud pernah ditanya oleh seseorang, "Kami tidak bisa bangun malam untuk mengerjakan shalat". Ia pun menjawab,
"Dosa-dosamu telah membelenggumu."

Demikian juga memakan barang yang haram akan menghalangi
pelaksanaan shalat malam.
Salah seorang dari kalangan Ulama mengatakan, "Betapa sering sesuap makanan itu menghalangi pelaksanaan shalat malam.
Betapa sering pandangan itu menghalangi seseorang dari membaca satu surat dari Al-Qur'an."

Sungguh seorang hamba itu akan menyantap satu makanan atau
melakukan sesuatu perbuatan yang menyebabkannya tidak bisa
mengerjakan shalat malam selama satu tahun.

Demikian juga, kecintaan kepada dunia (hubbud dunya) bisa
menghalangi seseorang untuk melaksanakan shalat malam.

Abu Thalib Al-Makki berkata, "Yang bisa menghalangi seorang
hamba dari melakukan shalat malam, atau yang menjadikannya lalai dalam waktu sekian lama, ada tiga hal. Yaitu, menyantap makanan yang syubhat, terus-menerus melakukan perbuatan dosa dan dominasi pikiran keduniaan di hati."

Bertolak dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa yang bisa
membantu seseorang agar bisa mengerjakan shalat malam itu
adalah;
1. memakan makanan yang halal,
2. istiqomah di dalam bertaubat,
3. menjauhi makanan yang haram dan syubhat,
4. menjauhi dosa dan maksiat,
5. menolak dominasi pikiran keduniaan dan kecintaan kepada dunia dari dalam hati dengan cara selalu ingat mati dan memikirkan akhirat atau apa saja yang akan ditemui sesudah mati.
*****

Sungguh, di antara shalat sunnah yang paling utama adalah shalat
malam (tahajud).
Allah SWT berfirman (yang artinya): Pada sebagian malam itu, bertahajudlah kalian sebagai ibadah tambahan bagi kalian. (Dengan shalat malam itu) Allah pasti mengangkat kalian ke derajat yang terpuji (TQS al-Isra': 79).

Begitu pentingnya shalat tahajud ini, Rasulullah SAW sampai
menyuruh kita untuk "mengqadhanya" saat tertinggal.
Beliau bersabda, "Jika kalian tertinggal dari menunaikan shalat
malam karena sakit atau hal lain, hendaklah kalian menunaikan
shalat dua belas rakaat (rawatib) di siang hari." (HR Muslim).

Dalam hadits lain beliau bersabda, "Siapa saja yang ketiduran hingga tidak menunaikan shalat witir atau sunnah-sunnahnya, Hendaklah ia menunaikannya saat terjaga." (HR Muslim).

Sebaliknya, Rasulullah SAW "mencela" orang yang tidak melakukan shalat malam, padahal ia sering bangun tengah malam.

Beliau bersabda kepada Abdullah bin Amr bin al-'Ash, "Wahai
Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan; ia bangun malam tetapi tidak menunaikan shalat malam." (Mutaffaq 'alaih).


Semoga Allah ringankan hati dan langkah kita untuk tunaikan shalat
malam.
Wallahu a'lam.


http://kenisah.blogspot.com

Tuesday, November 17, 2015

Hilangnya Petisi Kami

Sunday, November 15, 2015

Syiah dari Wiki

Syi'ah

Syi'ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah sekte dengan jumlah penganut terbesar kedua dalam agama Islam, setelah Sunni. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan penganut Sunni, dan 10% penganut Syi'ah.[1] Madzhab Dua Belas Imam atau Itsna Asyariyyah merupakan yang terbanyak jumlah penganutnya dalam sekte ini, dan istilah Syi'ah secara umum sering dipakai merujuk pada mazhab ini. Pada umumnya, Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah pertama, seperti juga Sunni menolak Imamah Syi'ah setelah Ali bin Abi Thalib. Madzhab Syi'ah Zaidiyyah termasuk Syi'ah yang tidak menolak kepemimpinan tiga Khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib.
Secara bahasa, kata "Syi'ah" adalah bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamak-nya adalah "Syiya'an" (شِيَعًا). Syī`ī (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari sekte tersebut.
EtimologiSunting

Perangko Iran bertuliskan Hadits Gadir Kum. Ketika itu Nabi Muhammad menyebut Ali sebagai mawla.
Istilah Syi'ah berasal dari Bahasa Arab (شيعة) "Syī`ah". Lafadz ini merupakan bentuk tunggal, sedangkan bentuk pluralnya adalah "Syiya'an". Pengikut Syi'ah disebut "Syī`ī" (شيعي).

"Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah "Syi`ah `Ali" (شيعة علي) yang berarti "pengikut Ali", yang berkenaan dengan turunnya Q.S. Al-Bayyinah ayat "khair al-bariyyah", saat turunnya ayat itu Nabi Muhammad bersabda, "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung - ya 'Ali anta wa syi'atuka hum al-faizun".[2]
Kata "Syi'ah" menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Kaum yang berkumpul atas suatu perkara.[3]
Adapun menurut terminologi Islam, kata ini bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib adalah yang paling utama di antara para sahabat dan yang berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan atas kaum Muslim, demikian pula anak cucunya.[4]
Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan.
IkhtisarSunting

Peta demografi persebaran dan perbandingan populasi Sunni (hijau muda) dengan Syi'ah (hijau tua).
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.

Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Menurut keyakinan Syi'ah, Ali berkedudukan sebagai khalifah dan imam melalui washiat Nabi Muhammad.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Ahlus Sunnah menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.

DoktrinSunting
Dalam Syi'ah, ada Ushulud-din (perkara pokok dalam agama) dan Furu'ud-din (perkara cabang dalam agama). Syi'ah memiliki lima perkara pokok, yaitu:


Tauhid, bahwa Tuhan adalah Maha Esa.
Al-'Adl, bahwa Tuhan adalah Mahaadil.
An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia.
Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya Hari Kebangkitan.
Dalam perkara ke-nabi-an, Syi'ah berkeyakinan bahwa:


Jumlah nabi dan rasul Tuhan adalah 124.000.
Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad.
Nabi Muhammad adalah suci dari segala aib dan tanpa cacat sedikitpun. Dia adalah nabi yang paling utama dari seluruh nabi yang pernah diutus Tuhan.
Ahlul-Bait Nabi Muhammad, yaitu Imam Ali, Sayyidah Fatimah, Imam Hasan, Imam Husain dan 9 Imam dari keturunan Imam Husain adalah manusia-manusia suci sebagaimana Nabi Muhammad.
Al-Qur'an adalah mukjizat kekal Nabi Muhammad.
Sekte-sekteSunting


Sekilas aliran Syi'ah dan cabang-cabangnya.
Aliran Syi'ah dalam sejarahnya terpecah-pecah dalam masalah Imamiyyah. Sekte terbesar adalah Dua Belas Imam, diikuti oleh Zaidiyyah dan Ismailiyyah. Ketiga kelompok terbesar itu mengikuti garis yang berbeda Imamiyyah, yakni:


Dua Belas ImamSunting
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dua Belas Imam
Disebut juga Imamiyyah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam) karena mereka percaya bahwa yang berhak memimpin kaum Muslim hanyalah para Imam dari Ahlul-Bait, dan mereka meyakini adanya dua belas Imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan Imamnya adalah:


Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
Jafar bin Muhammad (703–765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
Musa bin Ja'far (745–799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
Ali bin Musa (765–818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
Muhammad bin Ali (810–835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
Ali bin Muhammad (827–868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
Hasan bin Ali (846–874), juga dikenal dengan Hasan al-Askari
Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi
ZaidiyyahSunting
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Zaidiyyah
Disebut juga Syi'ah Lima Imam karena merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan Imamnya adalah:


Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.
IsmailiyyahSunting
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ismailiyyah
Disebut juga Syi'ah Tujuh Imam karena mereka meyakini tujuh Imam, dan mereka percaya bahwa Imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan Imamnya adalah:


Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
Ja'far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.
StatusSunting
IndonesiaSunting
Di Indonesia, Suryadharma Ali selaku menteri agama, di gedung DPR pada 25 Januari 2012 menyatakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama menyatakan Syiah bukan Islam, "Selain itu, Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) pernah mengeluarkan surat resmi No.724/A.II.03/101997, tertanggal 14 Oktober 1997, ditandatangani Rais Am, M Ilyas Ruchiyat dan Katib KH. Drs. Dawam Anwar, yang mengingatkan kepada bangsa Indonesia agar tidak terkecoh oleh propaganda Syiah dan perlunya umat Islam Indonesia memahami perbedaan prinsip ajaran Syiah dengan Islam. "Menag juga mengatakan Kemenag mengeluarkan surat edaran no. D/BA.01/4865/1983 tanggal 5 Desember 1983 tentang hal ihwal mengenai golongan Syiah, menyatakan Syiah tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam." Majelis Ulama Indonesia sejak lama telah mengeluarkan fatwa penyimpangan Syi'ah dan terus mengingatkan umat muslim seperti pada Rakernas MUI 7 Maret 1984[5] Selain itu, MUI Pusat telah menerbitkan buku panduan mengenai paham Syi'ah pada bulan September 2013 lalu berjudul "Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi'ah di Indonesia".[6][7]


MalaysiaSunting
Pemerintah Malaysia menyatakan bahwa Syi'ah adalah sekte yang menyimpang dari Hukum Syariat dan Undang–Undang Islam yang berlaku di Malaysia, dan melarang penyebaran ajaran mereka di Malaysia.[8][9]


YordaniaSunting
Pada Juli tahun 2005, Raja Abdullah II dari Yordania mengadakan sebuah Konferensi Islam Internasional yang mengundang 200 ulama dari 50 negara, dengan tema "Islam Hakiki dan Perannya dalam Masyarakat Modern" (27-29 Jumadil Ula 1426 H. / 4-6 Juli 2005 M.) Di Amman, ulama-ulama tersebut mengeluarkan sebuah pernyataan yang dikenal dengan sebutan Risalah Amman, yang menyerukan toleransi dan persatuan antar umat Islam dari berbagai golongan dan mazhab yang berbeda-beda.[10]


Hubungan Sunni-Syi'ahSunting
Hubungan antara Sunni dan Syi'ah telah mengalami kontroversi sejak masa awal terpecahnya secara politis dan ideologis antara para pengikut Bani Umayyah dan para pengikut Ali bin Abi Thalib. Sebagian kaum Sunni menyebut kaum Syi'ah dengan nama Rafidhah, yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna meninggalkan.[11] Mereka juga menyatakan bahwa terdapat riwayat-riwayat Sunni yang menceritakan pertentangan di antara para sahabat mengenai masalah imamah Abu Bakar dan Umar.[12]



Istilah RafidhahSunting

Sebutan Rafidhah erat kaitannya dengan sebutan Imam Zaid bin Ali yaitu anak dari Imam Ali Zainal Abidin, yang bersama para pengikutnya memberontak kepada Khalifah Bani Umayyah Hisyam bin Abdul-Malik bin Marwan pada tahun 121 H.[13]


Syaikh Abul Hasan Al-Asy'ari berkata: "Zaid bin Ali adalah seorang yang melebihkan Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakar dan Umar, dan memandang bolehnya memberontak terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai'atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakar dan Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka: "Kalian tinggalkan aku?" Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka "Rafadhtumuunii".[14]

Pendapat Ibnu Taimiyyah dalam "Majmu' Fatawa" (13/36) ialah bahwa Rafidhah pasti Syi'ah, sedangkan Syi'ah belum tentu Rafidhah; karena tidak semua Syi'ah menolak Abu Bakar dan Umar sebagaimana keadaan Syi'ah Zaidiyyah.

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: "Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka dia (Imam Ahmad) menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakar dan Umar'."[15]

Pendapat juga diutarakan oleh Imam Syafi'i. Ia pernah mengutarakan pendapatnya mengenai Syi'ah dalam diwan asy-Syafi'i melalui penggalan syairnya: "Jika Rafidhah itu adalah mencintai keluarga Muhammad, Maka hendaknya dua makhluk (jin dan manusia) bersaksi bahwa aku adalah seorang Rafidhi.", Dia juga berkata, "Mereka mengatakan, 'Kalau begitu Anda telah menjadi Rafidhi?' Saya katakan, 'Sekali-kali tidak… tidaklah al-Rafdh (menolak Khalifah Abu Bakar dan Umar) itu agamaku, tidak juga keyakinanku." Imam Asy-Syafi'i berkata: "Saya belum melihat seorang pun yang paling banyak bersaksi/bersumpah palsu (berdusta) dari Syi'ah Rafidhah." () [16]



ReferensiSunting
^ Christopher M. Blanchard, "Islam: Sunni and Syi'ah, Conggressional Research Service, 2010
^ Riwayat di Durul Mansur milik Jalaluddin As-Suyuti
^ Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji
^ Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm
^ Andreas Gerry Tuwo (10 September 2013). "Malaysia Akan Tindak Tegas Penceramah Syiah". Okezone.com. Diakses tanggal 22 September 2013.
^ "Syiah Di Malaysia". e-fatwa.gov.my. Bahagian Pengurusan Fatwa, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM). Diakses tanggal 22 September 2013.
^ "Jordan's 9/11: Dealing With Jihadi Islamism", Crisis Group Middle East Report N°47, 23 November 2005
^ Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829
^ Baca al-Ghadir, al-Muroja'ah, Akhirnya Kutemukan Kebenaran, dll
^ Badzlul Majhud, 1/86
^ Maqalatul Islamiyyin, 1/137
^ Ash-Sharimul Maslul 'Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Ibnu Taimiyyah
^ Adabus Syafi'i, m/s. 187, al-Manaqib karya al-Baihaqiy, 1/468 dan Sunan al-Kubra, 10/208. Manhaj Imam asy-Syafi'i fi Itsbat al-Aqidah, 2/486.






























Wahabi ???

📖 WAHABI (Sesat) Yang Sesungguhnya..!!
(Sebuah penyimpangan pemikiran yang perlu diluruskan)

Wajib diketahui oleh setiap Muslimin dimanapun mereka berada bahwasanya firqah Wahabi adalah Firqah sesat, yang ajarannya sangat berbahaya sehingga wajib dihancurkan.

Tentu hal ini membuat kita bertanya-tanya, mungkin bagi mereka yang PRO akan merasa marah dan sangat tidak setuju, dan yang KONTRA mungkin akan tertawa sepuas-puasnya.

Maka siapakah sebenarnya Wahabi ini?
Bagaimanakah sejarah penamaan mereka?

Mari kita simak dialog ilmiah yang sangat menarik antara Syaikh Muhammad bin Sa'ad Asy-Syuwai'ir dengan para masyaikh/dosen-dosen di sebuah Universitas Islam di Maroko.

Salah seorang Dosen itu berkata: "Sungguh hati kami sangat mencintai Kerajaan Saudi Arabia, demikian pula dengan jiwa dan hati kaum muslimin pada umumnya, dimana setiap kaum muslimin sangat ingin pergi kesana, bahkan antara kami dengan kalian sangat dekat jaraknya. Namun sayang, kalian berada diatas suatu Madzhab, yang kalau kalian tinggalkan tentu akan lebih baik, yaitu Madzhab Wahabi."

Kemudian Asy Syaikh dengan tenangnya menjawab: "Sungguh banyak pengetahuan yang keliru melekat dalam pikiran manusia, yang mana landasan pengetahuan tersebut tidak bersumber dari referensi terpercaya, dan mungkin kalian pun mendapat isu/kabar yang tidak tepat dalam hal ini.

Baiklah, agar pemahaman kita menyatu dalam bingkai syar'i, maka saya minta kepada kalian dalam diskusi ini agar mengeluarkan argumen-argumen yang diambil dari sumber-sumber yang terpercaya, dan saya rasa di Universitas ini terdapat perpustakaan yang menyediakan kitab-kitab sejarah islam terpercaya. Dan juga hendaknya kita semaksimal mungkin menjauhi sifat Fanatisme dan Emosional."

Dosen itu berkata : "saya setuju denganmu, dan biarkanlah para Masyaikh yang ada dihadapan kita menjadi saksi dan hakim diantara kita."

Asy-Syaikh berkata : "saya terima, setelah bertawakal kepada Allah, saya persilahkan anda melontarkan masalah sebagai pembuka diskusi kita ini."

Dosen itu pun berkata : "Baiklah kita ambil satu contoh, ada sebuah fatwa yang menyatakan bahwa firqah wahabi adalah Firqah yang sesat. Disebutkan dalam kitab "Al-Mi'yar" yang ditulis oleh Al Imam Al-Wansyarisi, beliau menyebutkan bahwa "Al-Imam Al-Lakhmi pernah ditanya tentang suatu negeri yang disitu orang-orang Wahabiyyun membangun sebuah masjid, "Bolehkah kita Sholat di Masiid yang dibangun oleh orang-orang wahabi itu?".
Maka Imam Al-Lakhmi pun menjawab: "Firqah Wahabiyyah adalah firqah sesat, yang masjidnya wajib dihancurkan, karena mereka telah menyelisih jalannya kaum mu'minin, dan telah membuat bid'ah yang sesat dan wajib bagi kaum muslimin mengusir mereka dari negeri-negeri islam".

(Perlu kita ketahui bahwa Imam Al-Wansyarisi dan Imam Al-Lakhmi adalah ulama Ahlusunnah wal jama'ah)

Dosen itu berkata lagi : "Saya rasa kita sudah sepakat akan hal ini, bahwa tindakan kalian adalah salah selama ini,"

Kemudian Asy-Syaikh menjawab : "Tunggu dulu..!! kita belum sepakat. Lagipula diskusi kita ini baru dimulai, dan perlu anda ketahui bahwasannya sangat banyak fatwa seperti ini yang dikeluarkan oleh para ulama sebelum dan sesudah Al-Lakhmi. Untuk itu tolong anda sebutkan terlebih dahulu kitab yang menjadi rujukan kalian itu!"

Dosen itu berkata: "Anda ingin saya membacakan fatwanya saja, atau saya mulai dari sampulnya?"

Asy-Syaikh menjawab: "Dari sampul luarnya saja."

Dosen itu kemudian mengambil kitabnya dan membacanya: "Namanya adalah "Kitab Al-Mi'yar", yang dikarang oleh Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi. Wafat pada tahun 914 H di kota Fas, Maroko."

Kemudian Asy-Syaikh berkata kepada salah seorang penulis di sebelahnya: "Wahai syaikh, tolong catat baik-baik, bahwa Imam Al-Wansyarisi wafat pada tahun 914 H. Kemudian bisakah anda menghadirkan biografi Imam Al- Lakhmi?"

Dosen itu berkata: "Ya."

Kemudian dia berdiri menuju salah satu rak perpustakaan, lalu membawakan satu jilid dari salah satu kitab-kitab yang mengumpulkan biografi ulama. Di dalam kitab tersebut terdapat biografi Ali bin Muhammad Al-Lakhmi, seorang Mufti Andalusia dan Afrika Utara.

Kemudian Asy-Syaikh berkata : "Kapan beliau wafat?"

Yang membaca kitab menjawab: "Beliau wafat pada tahun 478 H"

Asy-Syaikh berkata kepada seorang penulis tadi: "Wahai syaikh, tolong dicatat tahun wafatnya Syaikh Al-Lakhmi" kemudian ditulis.

Lalu dengan tegasnya Asy-Syaikh berkata : "Wahai para masyaikk..!! Saya ingin bertanya kepada antum semua. Apakah mungkin ada ulama yang memfatwakan tentang kesesatan suatu kelompok yang belum ada (lahir)? kecuali kalau dapat wahyu?"

Mereka semua menjawab : "Tentu tidak mungkin, Tolong perjelas lagi maksud anda!"

Asy-syaikh berkata lagi : "Bukankah wahabi yang kalian anggap sesat itu adalah dakwahnya yang dibawa dan dibangun oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab?"

Mereka berkata : "Siapa lagi?"

Asy-Syaikh berkata: "Coba tolong perhatikan!! Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H.

Nah, ketika Imam Al-Lakhmi berfatwa seperi itu, jauh RATUSAN TAHUN lamanya sebelum syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab lahir, bahkan sampai 22 generasi ke atas beliau belum ada yang lahir, apalagi berdakwah!!

KAIF?? GIMANA INI??" (Merekapun terdiam beberapa saat)

Kemudian mereka berkata: "Lalu sebenarnya siapa yang dimaksud Wahabi oleh Imam Al-Lakhmi tersebut? Mohon dielaskan dengan dalil yang akurat, kami ingin mengetahui yang sebenarnya!"

Asy-Syaikh pun menjawab dengan tenang: "Apakah anda memiliki kitab "Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya", yang ditulis oleh Al-Faradbil, seorang berkebangsaan Perancis?"

Dosen itu berkata: "Ya ini ada."

Asy-Syaikh pun berkata: "Coba tolong buka di huruf "Wau". Maka dibukalah huruf tersebut dan munculah sebuah judul yang tertulis "Wahabiyyah".

Kemudian Asy-Syaikh menyuruh Dosen itu membacakan biografi firqah wahabiyyah itu.

Dosen itu pun membacakannya: "Wahabi atau Wahabiyyah adalah sebuah sekte KHAWARIJ ABADHIYYAH yang dicetuskan oleh Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum Al-Khoriji Al-Abadhi. Orang ini telah banyak menghapus Syari'at Islam, dia menghapus kewajiban ibadah haji dan telah terjadi peperangan antara dia dengan beberapa orang yang menentangnya. Dia wafat pada tahun 197 H di kota Thorat, Afrika Utara.
Penulis mengatakan bahwa firqah ini dinamai dengan nama pendirinya, dikarenakan ia telah memunculkan banyak penyimpangan keyakinan dalam madzhabnya. Mereka sangat membenci Ahlu Sunnah.

Setelah Dosen itu membacakan kitabnya Asy-Syaikh berkata: "Inilah Wahabi yang dimaksud oleh imam Al-Lakhmi, inilah wahabi yang telah memecah belah kaum muslimin dan merekalah yang difatwakan oleh para ulama Andalusia dan Afrika Utara sebagaimana yang telah kalian dapati sendiri dari kitab-kitab yang kalian miliki.

Adapun Dakwah yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang didukung oleh Imam Muhammad bin Sa'ud -rahimuhumallah-, maka dia bertentangan dengan praktek dakwah Khawarij, karena dakwah beliau tegak diatas kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih. Dan beliau menjauhkan semua yang bertentangan dengan keduanya. Beliau mendakwahkah tauhid, melarang perbuatan syirik, mengajak umat kepada Sunnah dan menjauhi bid'ah, dan ini merupakan Manhaj Dakwah para Nabi dan Rasul.

Syubhat/isu yang tersebar dinegeri-negeri Islam saat ini tidak lain adalah hasil propagandakan musuh-musuh islam dan dibantu oleh kaum muslimin yang kurang paham, atau yang paham tapi cetakan liberal, sekuler dan beraliran sesat seperti Syiah dan gulatushofi agar terjadi perpecahan dalam barisan kaum muslimin, terutama kaum Ahli sunnah wal jama'ah.

Sebagaimana diketahui bahwa dulu para penjajah menguasai negeri-negeri islam pada masa dimana saat itu adalah puncak kekuatan mereka. Mereka tahu betul kenyataan lapangan pada perang salib bahwa musuh utama mereka adalah kaum muslimin yang bebas dari noda yang pada waktu itu menamakan dirinya dengan Salafiyyah. Sementara sekte Syiah, aliran Bathiniyyah dan Gulatu Asoufi justru berkolaborasi dengan musuh.

sebetulnya ada 2 wahabi:
1. Wahabi yg di mesir pd masanya salahudin al-ayubi, yg memang rafidhah dan jelas sesat.

2. Wahabi yg di Saudi yg merupakan pembaharu & ingin memurnikan ajaran Islam.

Cilakanya, ada propaganda yg meng-identikkan Wahabi Saudi dg Wahabi mesir yg Rafidhah (walaupun beda zaman jauh). Dan lebih cilaka lagi, banyak org muslim yg termakan hal ini.
Wa Allohu A'lam bi Showab.



http://kenisah.blogspot.com

Saturday, November 14, 2015

Negara Vs Pancasila

KOMPAS
Selasa, 27 Oktober 2015 | 18:14 WIB

Oleh: Mochtar Pabottingi

JAKARTA, KOMPAS - Kontroversi soal "bela negara" membawa kita pada empat hal penting yang perlu disoroti.

Pertama, siapa pun yang hendak menjadi pelaksana pendidikan bela negara seyogianya memiliki wibawa dan kredibilitas untuk itu.

Kedua, sasaran kelompok usia dan sasaran target waktu pendidikan bela negara mestilah ditentukan oleh realitas di Tanah Air.

Ketiga, jika program ini dimaksudkan sebagai jalan mewujudkan apa yang disebut "revolusi mental", ia adalah jalan yang vulgar-kasar dan menggampangkan.

Terakhir, di atas semuanya, kontroversi ini membuka pintu bagi kita untuk menilai bagaimana laku para pelaksana negara vis-à-vis ideal-ideal tertinggi bangsa kita. Dengan kata lain, bagaimana sebenarnya negara memperlakukan Pancasila selama ini.

Saya belum melihat adanya cabang atau perangkat pemerintahan yang cukup memiliki wibawa dan kredibilitas untuk dijadikan pelaksana pendidikan bela negara.

Sebagian besar cabang atau perangkat pemerintahan kita sudah puluhan tahun kehilangan wibawa dan kredibilitas itu.

Kita tahu bahwa pendidikan tanpa wibawa dan kredibilitas akan sia-sia, bahkan munafik. Sama sia-sia dan munafiknya dengan P4 di sepanjang Orde Baru. Di sini "revolusi mental" dalam arti kata sesungguhnya justru dicibiri dan dicampakkan, mustahil klop.

Kita tahu bahwa perusakan sendi-sendi kehidupan di dalamnya sudah berlangsung puluhan tahun ini dan mayoritas pelakunya para pelaksana negara sendiri berikut alat-alatnya-dulu lebih pada TNI, kini lebih pada Polri.

Ini berarti negara-bangsa kita menuntut koreksi tidak di masa depan, tetapi sudah selama puluhan tahun ini, dan sasarannya pastilah bukan terutama kaum muda, melainkan terutama kaum berusia empat puluh tahun ke atas-mereka yang kini menjadi penyelenggara negara atau alat-alat negara.

Kita tak memiliki kemewahan untuk membenahi negara-bangsa kita sepuluh atau dua puluhan tahun lagi.

Kita ketahui bahwa sejak Demokrasi Terpimpin, apalagi sejak Orde Baru, dan tak terkecuali di sepanjang apa yang disebut era Reformasi, para pelaksana negara beserta alat-alatnya sudah "suspect" vis-à-vis Pancasila.

Selama itu, deretan panjang "dosa masif" terhadap Pancasila telah dilakukan oleh para pelaksana negara sehingga sulit membuat bangsa kita melepaskan diri tidak hanya dari hujaman trauma politik, tetapi juga dari tiadanya kepercayaan masyarakat (societal trust) kepada para pelaksana negara.

Penghalalan cara

Lantaran timbunan pengkhianatan Orde Baru tak pernah dikoreksi, rangkaian borok dan ideologinya yang menempatkan negara di atas segalanya dan sebagai tak pernah salah terus berlanjut dan disebarkan dengan modus sarat muslihat. Mereka terus berpose sebagai tak pernah melakukan dosa-dosa masif.

Stiker Soeharto tersenyum berbunyi "Piye kabare Le...?" adalah bagian dari modus demikian-bukti bahwa jiwa Orde Baru masih terus bercokol dan bekerja menyesatkan masyarakat luas bangsa kita.

Dua ciri utama Orde Baru tak boleh kita lupakan: laku kental penghalalan cara dan/atau penyalahgunaan kekuasaan sistemik.

Inilah dua sumber utama pengkhianatan para pelaksana negara terhadap Pancasila. Semua laku yang secara sistemik mencampakkan ideal-deal tertinggi negara-bangsa kita haruslah disebut pengkhianatan.

Hingga kini pun tak terhitung penyelenggara negara yang masih terus melancarkan kedua laku nista itu.

Sekitar lima tahun pertama Reformasi ditandai perampokan atau penggadaian besar-besaran atas dana-dana publik, aset-aset negara, dan sumber-sumber daya alam kita.

Bertahun-tahun kebijakan impor terang-terangan membunuh inisiatif, potensi, hak-hak, dan jerih payah kaum tani kita, dan baru kini mulai akan dikoreksi.

Dan, kita disuguhi legislasi-legislasi yang dibuat bukan untuk kepentingan nasional, melainkan oligarki.

Semua laku penghalalan cara atau penyalahgunaan kekuasaan itu ditutup-tutupi dengan obral slogan menipu, pernyataan culas, dan shibboleth pandir tentang negara.

Mereka terus berusaha membutakan masyarakat perihal hukum politik kontradiktoris yang inheren pada negara, yaitu bahwa negara, manakala pelaksanaannya baik, akan menjadi kekuatan pemberadab terbesar; tetapi manakala pelaksanaannya salah, ia akan menjadi kekuatan pembiadab terbesar.

Mungkin baru di sini hukum tersebut dieksplisitkan. Namun, persis itulah yang dituju oleh para raksasa pemikir politik seperti Aristoteles, Locke, Montesquieu, John Stuart Mill, dan John Rawls dalam karya monumentalnya masing-masing, yaitu untuk mengatasi sifat kontradiktoris yang inheren pada negara.

Untuk itu pulalah Adnan Buyung Nasution menulis studi seriusnya atas Konstituante. Wanti-wanti mutakhir tentang "sifat dasamuka" negara antara lain disampaikan oleh Skocpol et al dalam Bringing the State Back In (1985): "Kasus-kasus di mana negara menimbulkan rangkaian 'malapetaka kolektif' haruslah diperiksa secara sama ketatnya dengan kasus-kasus di mana negara menciptakan rangkaian 'berkah kolektif'."

Dari sepanjang 70 tahun masa kemerdekaan bangsa kita, sebanyak empat perlimanya, yaitu 56 tahun (dari 1959 hingga saat ini), negara kita masih terus salah jalan lantaran kentalnya jiwa Orde Baru tadi.

Itu pula sebabnya, para pelaksana negara beserta alat-alat negara masih terus menjadi "suspect".

Di parlemen kita kini laku penghalalan cara atau penyalahgunaan kekuasaan terus berlangsung dalam aneka praktik busuk para "wakil rakyat" untuk tiada hentinya menguras dana publik.

"Rumah aspirasi", "studi banding", dan kehendak memaksakan "dana dapil", misalnya, lahir dari argumen-argumen tengik.

Banyak anggota parlemen menjadikan ketiga tugas pokoknya bukan untuk membuktikan kenegarawanan serta menetapkan patokan-patokan cerdas-bermartabat dalam rangka menyejahterakan negara-bangsa kita, melainkan terutama sebagai alat merampas dana publik, sebagai "komoditas-komoditas barteran" untuk memperkaya diri, dan sarana-sarana mega-ekstorsi secara yang pada umumnya sungguh tak bermalu.

Sulit dibantah bahwa Parlemen Reformasi adalah episentrum korupsi- sekaligus wajah terburuk demokrasi kita yang salah jalan.

Pengkhianatan parlemen

Praktik culas-kuras dana publik atas nama studi banding serba mewah ke luar negeri tak pernah dipertanggungjawabkan.

Alih-alih menjadi korpus rujukan bermutu yang kumulatif dari tahun-tahun panjang berlakunya agenda konyol itu, hasil-hasil studi banding para anggota parlemen tak pernah dilaporkan, apalagi dibuka kepada rakyat yang katanya mereka wakili, sebab tujuannya memang sulit dilepaskan dari kenistaan.

Sama sekali tak ada niat parlemen untuk menjadikan studi banding itu tulus dan bermartabat, tanpa harus berjemaah melakukan perjalanan rampok dana publik ke luar negeri.

Maka jadilah kinerja legislasi mereka buruk tiga kali lipat: kerdil produktivitas, kerdil kualitas, dan kerdil integritas.

Kenyataan ini berbanding terbalik dengan magnifikasi biaya yang tak henti-hentinya mereka ada-adakan dan tuntut tanpa malu secuil pun.

Perbandingan mereka dengan para legislator di masa Demokrasi Parlementer ibarat bumi dan langit.

Perlu dicanangkan bahwa parlemen di era Reformasi adalah yang paling khianat di sepanjang masa kemerdekaan.

Mayoritas masyarakat bangsa kita sudah lama menanggungkan kemuakan atas aneka laku nista, laku munafik, dan terutama laku serakah tanpa batas anggota parlemen.

Ia tidak atau belum sampai dibubarkan jelas bukan karena semua anggotanya berharkat, melainkan semata-mata karena, beda dengan situasi-kondisi negara-bangsa kita di pengujung 1950-an, kini kita tak lagi memiliki lembaga otoritatif atau figur panutan politik nasional untuk mencegah risiko gejolak politik tak terkendali manakala pembubaran dilakukan.

Parlemen di era Reformasi adalah buah simalakama terbesar dari negara-bangsa kita di sepanjang sejarahnya.

Kerjanya lebih banyak menggiring bangsa kita ke arah pengkhianatan dibandingkan ke arah kemaslahatan.

Hingga kini bangsa kita masih terus menoleransinya semata-mata lantaran keterpaksaan yang menyakitkan.

Toh, toleransi negatif demikian tak bisa "taken for granted", sebab ia bisa terus bertumbuh sebagai "flash point" atau "titik didih" bagi suatu ledakan gejolak politik raksasa.

Kisah di kalangan eksekutif dan yudikatif tak jauh beda. Di kedua lembaga ini pun penyalahgunaan kekuasaan sama sekali tidak kurang.

Penyalahgunaan kekuasaan sistemik bermula di masa Demokrasi Terpimpin lewat pencampakan demokrasi dengan segala akibat tragisnya.

Genosida terbesar di abad ke-20 atas saudara-saudara sebangsa berlaku tepat di persimpangan akhir Demokrasi Terpimpin dan awal Orde Baru.

Sepanjang rezimnya, Soeharto tak hanya mencampakkan demokrasi, tetapi juga menginjak-injak nasion serta menegakkan hukum rimba. Padahal, dalam korpus ilmu politik modern makin disadari niscayanya simbiosis nasion dan demokrasi.

Krisis multi-dimensi yang menimpa bangsa kita dalam 17 tahun terakhir merupakan konsekuensi penafian pakem demokrasi dan penginjak-injakan nasion.

Pencampakan nasion-demokrasi itu pulalah yang paling menandai kiprah dan panggung politik era Reformasi.

Laku penghalalan cara dan/atau penyalahgunaan kekuasaan baik dari Demokrasi Terpimpin maupun terutama dari Orde Baru masih membelit ketiga cabang pemerintahan kita.

Seperti Presiden Jokowi banyak tersandera oleh kalangan partai berjiwa atau bermetamorfosis Orde Baru, begitu pula bangunan politik Reformasi masih terbelit kencang oleh masa lalu.

Di dalam keterpenjaraan pada laku penghalalan cara dan/atau penyalahgunaan kekuasaan itulah mayoritas perilaku, praktik, dan kebijakan negara kita melecehkan, mengkhianati, dan mencampakkan Pancasila.

Tidak berlebihan jika kita tegaskan bahwa pengkhianatan terbesar terhadap Pancasila dilakukan negara kita sendiri lewat para pelaksana dan alat-alatnya.

Maka, kembali perlu ditegaskan bahwa wacana "empat pilar kebangsaan" beserta sadurannya "empat pilar MPR" merupakan siasat eskapis yang sangat menipu karena keduanya menolak hukum kontradiktoris negara. Sebelum menjadi ideologi negara, Pancasila pada hakikatnya adalah falsafah nasion. Subyek Pancasila bukanlah negara, melainkan nasion.

Sebutan "negara-bangsa" atau nation-state juga men-subyek-kan nasion, bukan negara. Dalam kondisi negara ideal sekalipun, kita harus selalu menyadari bahwa ia tetap derivat nasion yang perlu terus diwaspadai.

Menjadikan Pancasila ideologi negara berarti negaralah yang seyogianya menjadi penjunjung tertinggi dan pelaksana terdepan dari ideal-ideal Pancasila. Jika negara tak melaksanakan itu, para pelaksana dan alat-alatnya mesti dikoreksi secara tegas.

Dengan kesadaran akan nasion sebagai subyek yang per sejarah sungguh tak selalu dijunjung oleh negara itu, tidaklah berlebihan untuk menyatakan bahwa di sepanjang empat perlima masa kemerdekaan kita, kumulasi pengkhianatan terbesar terhadap Pancasila dilakukan oleh negara melalui para pelaksana dan alat-alatnya.

Maka, lebih daripada bela negara, yang paling imperatif bagi bangsa kita dewasa ini demi penjunjungan pada Pancasila ialah mengoreksi para penyelenggara negara beserta segenap alat-alatnya dari segenap laku penghalalan cara dan/atau penyalahgunaan kekuasaan.

Mochtar Pabottingi
Profesor Riset LIPI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Negara Vs Pancasila".



http://kenisah.blogspot.com

Friday, November 13, 2015

Muhammadiyah sikapi Syiah

Sikapi Syiah, Muhammadiyah: Kami Ingin Akidah yang Lurus


http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/26/063713201/sikapi-syiah-muhammadiyah-kami-ingin-akidah-yang-lurus


SENIN, 26 OKTOBER 2015 | 22:23 WIB
Sikapi Syiah, Muhammadiyah: Kami Ingin Akidah yang Lurus
Ketua Umum PP Muhammadiyah terpilih Haedar Nashir (ketujuh kiri) bersama Sekretaris Abdul Mu'ti (keenam kiri) berdiri bersama 11 PP Muhammadiyah lainnya usai pemilihan Ketua Umum PP Muhammadiyah pada Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar, 6 Agustus 2015. Haedar Nashir terpilih sebagai Ketua umum dan dan Abdul Mu'ti sebagai Sekretaris umum untuk priode 2015-2020. TEMPO/Hariandi Hafid
TEMPO.COSurakarta - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan Majelis Tarjih Muhammadiyah belum mengeluarkan sikap apapun terkait paham Syiah di Indonesia.  Kalau pun ada beberapa pandangan dari orang Muhammadiyah terkait Syiah, hal itu bukan mewakili organisasi Islam itu. “Kalau ada itu pendapat pribadi saja,” ujar Haedar kepada Tempo Ahad 25 Oktober 2015.


Belum dikeluarkannya sikap dari Muhammadiyah itu, kata dia, dilakukan semata-mata agar tidak konflik di tengah masyarakat. “Kaputusan Muktamar kemarin mendorong agar mengedepankan dialog,” ujar dia.



Dia mengimbau kepada umat Islam khususnya warga Muhammadiyah untuk tidak terpancing dengan provokasi-provokasi yang bisa memecah belah umat. “Yang jelas kami ingin setiap golongan Islam betul-betul mamiliki berakidah yang lurus, yang sesuai dengan Alquran dan sunah nabi Muhammad. Jangan berakidah yang salah kaprah. Jika ada perbedaan harus ada dialog.”



Karena itu ia mengecam aksi penggerudukan Kantor Yayasan Rausyan Fikr – lembaga kajian filsafat Islam –  di Gang Pandega Wreksa, Sleman Yogyakarta Jumat, 23 Oktober 2015. Menurut dia, aksi tersebut tidak mencerminkan perilaku orang yang beragama. “Kami tidak ingin kelompok agama mana pun menyerang secara fisik,” kata Haedar.



Seperti diberitakan sebelumnya, sekelompok masa yang mengatasnamakan diri sebagai Forum Umat Islam (FUI) membubarkan dan mengusir orang-orang yang ada di kantor yayasan tersebut. FUI menuding orang-orang tersebut sebagai penganut paham Syiah.



Koordinator FUI Yogyakarta, Muhammad Fuad, mengaku pernah menyegel kantor tersebut karena manilai mereka penganut Syiah. “Tapi ternyata tetap buka dan menggelar acara lagi, jadi kami minta ditutup,” ujarnya.



Menurut Haedar Nasir, umat Islam harus cerdas dalam menyikapi perbedaan yang ada. Perbedaan seharusnya diselesaikan dengan cara dialog, bukan dengan kekerasan. “Dengan dialog maka akan saling memahami satu sama lain,” kata dia. Aksi kekerasan, kata Haedar, justru akan mencoreng nama baik umat Islam sendiri. “Orang akan melihat ‘oh, orang yang beragama saja cara mengatasi persoalan dengan kekerasan’. Nah, itu kan akhirnya pandangan orang jadi buruk,” kata dia.




Terkait peristiwa penggerudukkan di Kantor yayasan Rausyan Fikr, Haedar meminta kepada aparat kepolisian untuk bertindak tegas dan obyektif dalam menegakkan hukum. “Jangan membiarkan  orang yang melakukan kekerasan,” ucap dia.


MUHAMMAD IRSYAM FAIZ


Etnik Kurdi Benteng Khilafah Utsmaniyah, Kenapa Memberontak Turki Sekarang?

Etnik Kurdi di Turki . (akhbaralaalam.net)
dakwatuna.com – Ankara. Ketika memperhatikan Turki, kita bisa menemukan hubungan yang rumit dan cukup unik antara bangsa Kurdi dan bangsa Turki.

Informasi yang disajikan media Barat berusaha menggambarkan adanya hubungan buruk antara Kurdi-Turki. Ada persaingan bahkan permusuhan antara keduanya.


Sebenarnya, Turki adalah contoh sebuah negara yang berhasil menaungi berbagai etnik yang sangat beragam. Ada Arab, Kurdi, Sirkasia, Albania, Armenia dan lainnya. Dengan demikian, Turki adalah sebuah negara multi etnik.

Namun demikian, etnik Kurdi mempunyai posisi tersendiri karena mempunyai populasi terbesar kedua setelah etni Turki. Sejak dari dulu, etnik Kurdi sudah hidup damai sekampung dan sekota dengan Turki dan Armenia. Sama halnya etnik-etnik Islam yang hidup dalam naungan negara Khilafah Utsmaniyah.

Banyak yang menilai, Kurdi termasuk etnik yang konservatif lebih dari etnik-etnik Turki yang lainnya. Hal itu disebabkan kondisi domisili mereka yang merupakan daerah pegunungan, dan banyaknya jumlah ulama di kalangan mereka.
Seiring dengan jatuhnya Khilafah Utsmaniyah, dan didirikannya Turki sebagai negara republik, tindakan penindasan dilakukan terhadap umat Islam pada umumnya di seluruh wilayah Turki.

Di mana-mana didirikan tiang gantungan untuk mengeksekusi mati. Banyak juga tokoh Islam yang ditangkapi. Karena kuat memegang ajaran Islam dan pentingnya Khilafah Utsmaniyah, etnik Kurdi menolak didirikannya Republik Turki.


Etnik Kurdi tampil dengan sikap keras menentang dijatuhkannya Khilafah Utsmaniyah. Sheikh Said Piran, misalnya, adalah tokoh agama yang melakukan revolusi untuk mengembalikan lagi Khilafah Utsmaniyah.

Sheikh Said Nursi juga melakukan hal yang sama dengan cara mengembangkan kesadaran Islam Syamil untuk membendung gelombang sekularisme.

Karena itulah, pemerintahan negara yang baru melakukan operasi-operasi militer di wlayah-wilayah Turki bagian timur. Media dikerahkan juga untuk mengopinikan bahwa Kurdi adalah etnik yang menentang dan memusuhi negara Turki.

Dibuat opini publik untuk mendiskriminasi etnik Kurdi. Hingga akhirnya benar-benar ada perpecahan antara etnik Kurdi dan etnik Turki. Apalagi dengan terjadinya kudeta-kudeta dalam peralihan kekuasan. Penguasa kudeta selalu melakukan tindakan represif terhadap kelompok yang memegang teguh agama, terutama dari etnik Kurdi.

Pada tahun 1970-an, Partai Buruh Kurdistan (PKK) berdiri, dan mengampanyekan disintegrasi Kurdi dari Turki. Kurdi akan mendirikan sebuah negara Kurdi di wilayah Turki bagian timur.

Propaganda ini mendapatkan sambutan luas dari etnik Kurdi yang telah merasakan pahitnya hidup di bawah pemerintahan Turki pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah dan digantikan dengan Republik Turki.


Karena membawa perasaan selalu dizhalimi inilah, mayoritas etnik Kurdi tidak peduli dengan ideologi PKK yang kiri-atheis, jauh berbeda dari kenyataan etnik Kurdi yang sangat berpegang pada ajaran Islam, bahkan disebut-sebut konservatif.

Oleh karena itu, bisa kita simpulkan bahwa sebenarnya permasalahan etnik Kurdi tidak dengan etnik Turki, tapi dengan rezim-rezim militer yang berkuasa sejak runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Bukan hanya etnik Kurdi yang merasakan kezhaliman mereka, tapi seluruh rakyat Turki yang memegang teguh ajaran Islam.

Tidak ada masalah antara Kurdi-Turki. Bahkan sebuah lembaga penelitian strategis menyatakan bahwa sepertiga etnik Turki memiliki kerabat dari etnik Kurdi. Demikian pula sebaliknya, banyak etnik Kurdi yang mempunyai kerabat dari etnik Turki. Hubungan keduanya sangat erat, dan sama sekali tidak ada masalah.

Dalam sejarah, Kurdi adalah etnik yang sangat setia dan loyal kepada negara Khilafah Utsmaniyah. Mereka telah mendukung Sultan Bayezid menghadapi serangan Tamerlane dari Mongol. Padahal saat itu kebanyakan etnik saat itu malah mendukung Tamerlane.

Sejarah juga belum mencatat revolusi etnik Kurdi melawan Khilafah Utsmaniyah. Tidak seperti etnik Turkmen yang beberapa kali melakukan revolusi. Misalnya revolusi Karman melawan Sultan Muhammad Al-Fatih.


Bahkan setelah runtuh pun, etnik Kurdi tetap mendukung Khilafah Utsmaniyah. Mereka menolak sama sekali pembentukan negara republik. Mereka pun melakukan perlawanan bersenjata seperti yang dilakukan Sheikh Said Piran, dan perlawanan pemikiran yang dipelopori Sheikh Said Nursi.

Etnik Kurdi terkenal dengan khazanah keilmuan Islam. Banyak lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman tersebar di wilayah tenggara Turki yang berpenduduk mayoritas etnik Kurdi. Perhatian mereka kepada keilmuan Islam memang luar biasa.

Karena itulah, banyak kalangan mereka (ulama) yang menjadi target kekejaman penguasa militer pasca republik. Penguasa sekular memerangi ulama dan kelompok yang berpegang teguh pada ajaran Islam, yang kebanyakan mereka berkonsentrasi di wilayah Kurdi. Banyak lembaga pendidikan di wilayah tersebut yang menjadi sasaran mereka.

Dalam pemilu Turki terakhir, mayoritas etnik Kurdi diketahui masih memberikan dukungan kepada Partai Rakyat Demokratik (HDP) yang berhaluan kiri. Walaupun sebenarnya, perolehan HDP berkurang 3% dari pemilu bulan Juni. Kenapa dukungan itu masih besar?

HDP bisa memanfaatkan perasaan dizhalimi pada etnik Kurdi. Partai yang baru berhasil masuk parlemen ini menampilkan diri sebagai representasi etnik Kurdi dengan segala lapisannya. Partai ini juga mengaku terbuka untuk pemeluk semua agama.


Walaupun kuat dalam memegang ajaran agama Islam, etnik Kurdi merasa penting adanya partai yang mewakili mereka secara etnik. Apalagi setelah pemerintah Turki mengakui Abdullah Ocelan dan Partai Buruh Kurdistan (PKK) sebagai mewakili etnik Kurdi dalam perundingan-perundingan perdamaian.

Etnik Kurdi merasa negara Khilafah Utsmaniyah yang dulu mereka dukung tidak ada di Turki. Sementara itu di wilayah Kurdi sendiri sedang terjadi tarik-menarik dukungan seiring dengan berkecamuknya perang di Irak dan Suriah yang bersentuhan secara langsung dengan mereka. Karena itu, etnik Kurdi merasa keberadaan partai yang secara resmi mewakili etnik mereka adalah sangat penting.

Walaupun demikian, etnik Kurdi kiranya kembali mengingat bahwa runtuhnya negara Khilafah Utsmaniyah terjadi karena ulah organisasi-organisasi dan partai-partai yang jelas didirikan dan didukung negara-negara Barat. Hal yang sama saat ini terjadi pada PKK dan HDP, sangat didukung negara-negara Barat? Apakah skenario jatuhnya khilafah mereka biarkan terulang kembali saat ini? (msa/dakwatuna)


http://kenisah.blogspot.com

Tatkala Menganggap Diri Lebih Baik dan Benar

Ibrahim bin Adham suatu ketika sedang berjalan di tepi pantai. Tanpa sengaja, matanya melirik sepasang manusia berduaan dengan begitu mesranya. Terlintas di benak sufi ini bahwa sepasang kekasih itu sedang dimabuk cinta. Bukan hanya mabuk cinta, ternyata mereka juga sedang mabuk dalam arti yang sesungguhnya. Terlihat di sekeliling mereka beberapa botol minuman berseliweran, terdapat bekas botol yang baru saja selesai dikosongkan isinya. Beberapa saat, Ibrahim bin Adham terkesima dengan pemandangan yang dia lihat sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia berpikir betapa musykilnya sepasang manusia ini, bermaksiat sedemikian mudahnya, seakan tak ada dosanya.
Tiba-tiba dalam jarak beberapa meter di depan mereka, gelombang laut mengganas menerjang pinggiran pantai. Menghanyutkan sesiapa yang berdekatan, tak pandang bulu. Beberapa orang berusaha berdiri, berenang, dan berlari menjauh ke arah daratan. Sebagian mereka bisa melepaskan diri dari terjangan ombak. Namun nahas, lima lelaki tak kuasa diseret gelombang. Seketika, lelaki mabuk yang sedang bermesraan di pinggir pantai itu berlarian menuju ke arah lima orang yang hanyut. Ia berusaha menarik satu-persatu lelaki yang hampir terbawa arus. Ibrahim bin Adham yang melihat kejadian itu hanya bisa tercengang, berdiri mematung di tempatnya. Antara tercengang dengan kejadian yang terjadi begitu cepat di depan matanya dan juga tidak bisa berenang.
Sementara si lelaki ini begitu cekatan berlari dan berenang. Tak membutuhkan waktu lama, si pemuda mabuk tadi berhasil menyelamatkan empat orang. Kemudian ia kembali. Namun bukannya kembali ke perempuan yang tadi sempat ditinggalkan sejenak, lelaki ini justru menuju ke arah Ibrahim bin Adham. Belum terjawab kebingungan Ibrahim bin Adham, tiba-tiba saja, ia mengucapkan beberapa kalimat, padahal Ibrahim bin Adham tidak bertanya sepatah katapun.
"Tadi itu aku hanya bisa menyelamatkan empat nyawa, sementara kau seharusnya menyelamatkan sisa satu nyawa yang tidak bisa aku selamatkan."
Belum selesai kebingungan Ibrahim bin Adham, lelaki ini melanjutkan, "Perempuan yang di sebelahku itu adalah ibuku. Dan minuman yang kami minum hanyalah air biasa." Ia memberikan alasan. Seolah ia mampu membaca semua apa yang dipikirkan oleh Ibrahim bin Adham.
Kejadian sederhana itu mampu menyadarkan sang ulama terkenal, Ibrahim bin Adham. Seketika itu hati beliau dipenuhi sesal dan taubat. Lelaki yang sempat dianggap ahli maksiat ternyata jauh lebih baik dibandingkan beliau yang terkenal ahli ibadah. Kejadian itu begitu membekas dalam hidup Ibrahim bin Adham hingga wafatnya. Jika seorang Ibrahim sang Sufi saja bisa terjebak dalam perangkap itu, bagaimana dengan kita manusia akhir zaman?
Betapa seringnya kita berada di posisi menjustifikasi manusia. Atas sedikit fakta yang kita tahu tentang cuplikan kehidupannya, kita menuduhnya dengan stigma yang sangat tak pantas. Tatkala seorang teman yang tak menyapa ketika berpapasan dengannya sekali waktu, seketika kita beropini bahwa ia sombong. Padahal di balik itu, ia sedang dirundung masalah besar, bersedih, atau juga tak melihat kita. Di saat seorang teman tak memberi kita pinjaman uang, seketika kita menduga bahwa ia pelit. Padahal di balik itu ia sedang berusaha mendapatkan banyak uang untuk kebutuhan ibunya atau untuk membayar utang-utangnya. Di saat seorang karib tak memenuhi undangan kita, terlintas di benak jika ia seorang yang tak menghargai. Padahal di balik itu, dia mendapatkan sebuah tanggungan yang harus segera diselesaikan hari itu juga sementara ia sungkan untuk memohon izin dikarenakan penghormatannya.
Penyebab retaknya ukhwah dengan sesama salah satunya disebabkan urusan salah persepsi. Lalu melahirkan saling mencurigai dan saling bersu'udzon. Tak sengaja ketika kita menganggap seseorang berdasarkan persepsi kita maka yang terjadi adalah rasa kekecewaan terhadap semua orang. Sementara tanpa disadari hal ini juga membangkitkan rasa ego sedikit demi sedikit menjadi pribadi yang superior, tanpa cela, dan antikritik. Sampai akhirnya menganggap diri sendiri adalah segalanya. Sang manusia sempurna dan pemilik kebenaran seorang diri, atau kelompoknya semata. Betapa berbahayanya.
Jauh-jauh hari Nabi SAW mengingatkan, "Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah seduta-dustanya ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563]. Pesan Nabi tidak sekadar nasihat biasa. Beliau mewanti-wanti supaya umatnya selalu menjaga diri. Betapa gelisahnya Nabi jika mengetahui ada diantara umatnya yang saling merendahkan sesama.
Berburuk sangka termasuk laku yang salah, pemantik dosa. Ketika seseorang berburuk sangka dan sangkaannya itu benar, maka sama sekali ia tak akan mendapat pahala apapun. Sementara jika ia berburuk sangka dan sangkaannya itu salah, maka pasti atasnya perbuatan dosa. Betapa tak bermanfaatnya berburuk sangka, menstigmaisasi, dan menghakimi seseorang dari apa yang sedikit pengetahuan kita tentang dia.
Bertemu dengan semua orang seharusnya menjadi cermin untuk diri kita untuk lebih baik lagi. Hal ini diawali dengan rasa saling percaya dan berbaik sangka. Ketika bertemu anak kecil, pikirkan bahwa bisa jadi ia jauh lebih baik dari kita, karena di umurnya yang sedikit, ia masih sedikit dosa dan salah. Ketika bertemu dengan orang tua, pikirkan bahwa ia jauh lebih baik dari kita, karena umurnya yang sudah sepuh, berarti ibadahnya pun jauh lebih banyak dibanding kita. Bertemu orang gila sekalipun ada kesempatan bagi kita berpikir positif, bisa jadi ia lebih baik dan lebih dulu masuk surga dibanding kita. Sebab, orang gila itu tidak dibebani syariat oleh Tuhan yang Maha Adil, sehingga ia tanpa cela. Terlebih ketika bertemu dengan manusia yang cacat fisiknya. Orang buta, tuli, bisu, bisa jadi mereka jauh lebih baik dari kita. Mereka tak pernah menggunakan inderanya untuk meliha, mendengar, dan mengucap dosa. Bukankah mereka lebih selamat di dunia dan akhirat? Lalu masihkah ada kesempatan kita merasa jauh lebih baik, lalu terbersit angkuh dan sombong, dan kemudian merendahkan manusia lainnya, bahkan kemudian menganggap bahwa pemilik kebenaran sempurna adalah sosok diri sendiri seorang? Wajarkah?

Wallahu a'lam bishawab.



http://kenisah.blogspot.com

Monday, November 9, 2015

Cannie Watae (?)

Saya mendapat pesan inbox dari seorang kawan FB yang menyodorkan sebuah berita dari Kompas. Saya sebenarnya sudah tidak lagi membaca Kompas, kecuali judul-judul beritanya yang seliweran di wall. Saya tidak ingin menyerahkan alam pikir saya terisi oleh framing Kompas (Framing atau pembingkaian adalah pengolahan suatu peristiwa untuk kemudian disampaikan pada pembaca dengan sudut pandang pengelola media ybs). Belakangan ini, saya melihat Kompas membodohi-bodohi pembacanya. Atas permintaan sang kawan, saya komit bantu bikin ulasan.

Ini soal "oleh-oleh" Jokowi dari Amerika, yaitu apa yang disebut sebagai Kesepakatan Bisnis Senilai 275 Trilyun. Beritanya ada di http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/10/27/130300226/Ini.Rincian.Kesepakatan.Bisnis.Rp.275.Triliun.Saat.Jokowi.di.AS.

Materi berita yang sama sebenarnya sudah saya baca pada situs media lain. Kompas sendiri mendapatkan materinya dari Kantor Berita Antara. Awalnya, saya sudah "gatel" untuk mengulasnya, tapi, saya prihatin pada sebagian orang di jagad Facebook yang mengobral cap "hater" pada siapa pun yang berpandangan kritis pada Jokowi. Saya perkirakan, mereka akan semakin menurunkan harga lebih lanjut, diskon besar-besaran untuk men-cap "hater, hater, hater" lagi di wall saya. Paling memprihatinkan kalau mereka mulai menggunakan kalimat frustasi: kalo kamu yang jadi Presiden, belum tentu kamu bisa lebih baik dari Jokowi. Di mata kelompok ini, dalam amatan saya, yang penting Jokowi sudah Presiden, dan itu sudah cukup. Perkara Kepresidenan Jokowi tidak membawa maslahat bagi seluruh rakyat Indonesia, sepertinya mereka tidak peduli. Sebuah perilaku yang menurut saya "pengabaian terhadap cita-cita Proklamasi dan Reformasi" . Cieeeeeee....

Agak panjang nggak papa, yah?

Begini. Kita mulai dari kisah perdagangan antar-bangsa.

Supaya dekat-dekat menuju klop, saya langsung mengumpamakan perdagangan antara negara I yang bermata uang R, dengan negara A yang bermata uang D.

Penduduk negara I gemar makan tempe. Karena kedelai yang adalah bahan baku pembuatan tempe hanya sedikit di negara I, maka I mencari sumber bahan dari luar negaranya. Ketemu negara A, ternyata A punya perkebunan kedelai yang maha luas. Produksinya banyak, di satu sisi kebutuhan dalam negeri A tercukupi dari produksi mereka sendiri, bahkan melebihi kebutuhan. Masuk ini barang. I segera membeli kedelai dari A. Pake uang apa I membayar? Ya pake uang R, dong, karena uangnya I adalah R. A bersedia menerima pembayaran dalam bentuk mata uang R. Mengapa? Selidik punya selidik, A ternyata butuh tembaga untuk memenuhi kebutuhan pembuatan kabel di negerinya. Ada pun tembaga, berlimpah di negara I. Tercapailah kesepakatan, bahwa A bersedia menerima pembayaran kedelai dalam bentuk mata uang R, dengan catatan A boleh membeli tembaga dari I, menggunakan uang R hasil pembayaran kedelai dari I.

Atau, dalam skenario yang sedikit berbeda, ternyata A tidak mau menerima pembayaran dalam bentuk uang R, A maunya dibayar pake uang D, karena uang D itu yang laku di negara A. Kalo dibayar pake uang R, A bilang "ngapain, wong tidak laku di negara saya?". Lalu gimana dong? Dicarilah jalan keluar, agar I bisa punya duit dalam bentuk D, maka harus ada sesuatu dari negara I yang bisa dibeli oleh A. Aha, tembaga jawabannya. Jadi, A beli tembaga dulu dari I, bayarnya pake uang D, lalu uang D itu dipake oleh I, untuk bayar belanjaan kedelai. Adil, kan? Tidak ada yang dirugikan, kan?

Atau, skenario lain lagi. A butuh tembaga, I tidak mau dibayar dengan uang D. I maunya uang R. Jalan keluarnya, I yang kebetulan butuh kedelai dari A, membayar dengan uang R. Dengan demikian, A akan punya alat bayar dalam bentuk uang R. Alat dalam bahasa Inggris disebut "device". Pakar Bahasa Indonesia J.S. Badudu menganjurkan kita menyebutnya "devisa". Devisa itu selanjutnya disimpan (reserved, dicadangkan) oleh A, untuk kemudian digunakan nanti untuk membayar tembaga. Jadi, negara A punya "cadangan devisa" dalam bentuk uang R.
Katakanlah kedua negara sepakat berdagang (trading) menggunakan mata uang R sebagai devisa (alat bayar).

Pada tahun pertama, I membeli kedelai senilai seribu R (1.000 R). Sebagai respon, A membeli tembaga dari I juga dengan nilai 1.000 R. Uang dari negara I mengalir ke negara A sebesar 1.000 R, lalu mengalir balik lagi ke negara I. Adakah yang dirugikan? Jawabannya: tidak. Adakah yang diuntungkan? Gimana ya, ada yang untung, nggak? Melihat I keluar 1.000 R, A terima 1.000 R, lalu A keluar 1.000 R, dan terakhir I menerima lagi 1.000 R, secara matematis tidak ada yang untung. Memang tidak ada yang rugi, tapi tidak ada pula yang untung. Benarkah tidak ada yang untung? Tunggu dulu. Kedua-duanya UNTUNG. Untung Sejati, namanya. Untung bagaimana? Nanti saya jelaskan. Kita melangkah ke tahun kedua dulu.

Pada tahun kedua, I kembali membeli kedelai dari A sebesar 1.000 R. Karena permintaan kabel turun di negaranya, A pada tahun kedua ini membeli tembaga hanya senilai 900 R. Berarti ada sisa devisa 100 R di brankas negara A. Itu namanya surplus dagang. Apakah itu berarti negara A meraih keuntungan? Sepertinya iya, tetapi sejatinya tidak. Lho, kenapa? Lha, duit 100 R itu mau diapain sama negara A? Dipake belanja dalam negeri sendiri juga kagak laku. Duit dengan satuan R itu hanya laku kalau dipake membayar ke negara I. Bagaimana dari sisi negara I? Seratus R yang tidak kembali pada tahun kedua itu dianggap "tak masalah". Hanya "sedikit". Pula, toh "suatu saat nanti akan dibelanjakan pula oleh A ke I".

Pada tahun ketiga, keempat, kelima, pembelian tembaga oleh A ke I ternyata selalu lebih rendah nilainya daripada pembelian kedelai dari I ke A. I mulai protes: "Hei, perdagangan kita tidak seimbang. Makin habis duit R kami di dalam negeri kami sendiri. Kalian perbanyak belanja dong ke sini, biar duit R yang ada di brankas kalian bisa kembali ke sistem perekonomian kami".

Dalam kondisi di atas, neraca dagang kedua negara tidak seimbang. Tetapi, apakah itu serta merta berarti negara I rugi? Bisa dikatakan tidak juga. Toh, beli kedelai tiap tahun seharga 1.000 R, barang yang datang benar adalah kedelai, tiap tahun, tepat waktu. Duit yang dibelanjakan senilai 1.000 tiap tahun mendatangkan kedelai dengan jumlah yang sesuai nilai itu. Tetapi, dipandang dari perspektif "bangsa", ada kerugian karena devisa negara tersedot keluar. Di sisi lain, negara A memupuk cadangan devisa dalam bentuk mata uang R di negaranya. Kondisi ini menjadi makin merugikan bagi negara I apabila, ternyata, di awal kesepakatan, alat bayar yang disepakati bersama adalah mata uang milik A, yaitu uang D. Untuk bisa membayar negara A dalam bentuk uang D, melihat transaksi yang tidak seimbang, satu-satunya cara bagi I untuk memiliki uang D adalah dengan cara meminjam, alias berhutang (!).

Itulah sebabnya dalam perdagangan antar-negara, kedua negara saling berharap agar terjadi transaksi yang seimbang. Saling menjaga, saling mengisi, saling menerima. Selisih transaksi kecil dapat diterima sebagai sesuatu yang tak dapat dihindari (dengan demikian bagi negara yang berposisi surplus, mereka mendapat kesempatan memperkuat cadangan devisa asing di negaranya).
Nah, dengan transaksi yang seimbang, tidak ada yang dirugikan, dan kedua-duanya UNTUNG. Untungnya di mana? Untungnya adalah: di kedua negara tercipta kesempatan kerja bagi rakyat masing-masing. Inilah Untung Sejati itu. Ketika A butuh tembaga, maka proses pengambilan, pengolahan, pengadaan energi untuk pengolahan, pengapalan, pajak, dlsb memungkinkan perputaran uang di dalam negeri negara I. Demikian pula sebaliknya. Proses negara A menyiapkan kedelai untuk dijual ke negara I menciptakan lapangan pekerjaan di sana. Mulai dari pengadaan bibit, penanaman, pengadaan alat mekanik pertanian, pengangkutan, pajak, dlsb. Kedua negara menghidupkan rakyat masing-masing dari perdagangan mereka.

Itu baru pada 2 komoditas dagang. Bagaimana untuk ratusan bahkan ribuan komoditas? Jutaan orang bisa hidup. Di sinilah peran Negara sangat penting. Apabila transaksi dagang bergejala tidak seimbang, pemerintah Negara bersangkutan harus segera memainkan instrumen-instrumen aturan, pengawasan, pengendalian, pembinaan, sedemikian rupa sehingga posisi keseimbangan dagang terjaga dengan baik. Sambil, dengan cara-cara yang sportif membuat selisih dagang yang positif, agar kelebihan itu dapat memperkuat cadangan devisa.

Nah, sekarang mari kita elaborasi oleh-oleh Jokowi dari Amerika senilai 20,25 Milyar Dollar atau setara 275 Trilyun Rupiah, sebagaimana link Kompas di atas.

A. Kesepakatan bisnis 15,705 milliar dollar AS yakni:

1. Perjanjian jual beli gas alam cair (LNG) antara Pertamina dan Corpus Christie Liquefaction senilai 13 miliar dollar AS untuk pengiriman LNG ke FSRU Lampung bagi kebutuhan gas di wilayah barat Indonesia dan terminal LNG untuk Indonesia Timur.

* Amerika mendapat 15,705 milyar dollar. Baru pada permulaan ini saja sebenarnya tak perlu lagi kita jauh-jauh ke bawah untuk menarik kesimpulan apakah kita (sebagai bangsa) mendapat untung sejati atau rugi sejati.

2. Ekspansi Phillip Morris sebesar 1,9 miliar dollar AS (500 juta dollar ASuntuk belanja modal dan 1,4 miliar dollar AS berupa penerbitan saham baru Sampoerna). Belanja modal tersebut untuk perluasan pabrik dan perkantoran serta investasi yang akan dilakukan dalam kurun waktu 2016-2020.

* 500 juta dollar, apakah duit ini murni dana segar dari kantong Philip Morris (perusahaan Amerika yang menjadi pemilik Sampoerna sejak beberapa tahun lalu), atau duit ini sebenarnya duit yang sudah ada di kas perusahaan di Indonesia?
* 1,4 milyar dollar, ini adalah duit yang didapat dari penerbitan saham baru. Di Pasar Modal mana Sampoerna mencatatkan diri (listing)? Di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Itu berarti, duit ini datang dari pasar dalam negeri kita sendiri.

3. Coca Cola juga akan menanamkan investasi 500 juta dollar AS untuk perluasan dan penambahan produksi, pergudangan, distribusi, dan infrastruktur minuman ringan selama 2015-2018.

* Tidak dijelaskan di sini apakah duitnya datang dari AS atau tidak.

4. Rencana pengembangan lahan shale gas Eagle Ford, Fasken, milik Swift Energy, yang akan dilakukan oleh Saka Energi dengan Swift Energy di Webb County, Texas, dengan nilai sebesar 175 juta dollar AS.

* kita anggap saja ini duit masuk, 175 juta dollar dari AS. Tapi tunggu dulu, lokasi investasi ternyata di Texas. Di manakah Texas itu? Saya yakin bukan di Jabar, Sulsel, atau pun Papua. Berarti, ini bukan duit masuk.

5. Kesepakatan bisnis antara PT PLN (Persero) dan General Electric, yaitu antara PLN Gorontalo dan General Electric dengan nilai sebesar 100 juta dollar AS untuk pembangunan 100 MW gas turbin dancydepower di Gorontalo.

*Amerika lagi lagi dapat duit, di transaksi ini Indonesia-lah yang jadi pembeli.

6. Kerja sama Universitas Udayana dengan Skychaser Energy untuk konservasi air dan reduce power consumption dengan nilai sebesar 30 juta dollar AS.

* Semoga ini kerjasama hibah. Pun, walau pun ini hibah, misalnya, maka sebagian besar dari dana 30 juta dollar ini akan menjadi upah kerja bagi tenaga-tenaga ahli AS.

7. Kerja sama antara BNI Syariah dan Mastercard untuk peluncuran kartu debit haji dan umrah yang diselenggarakan oleh BNI Syariah dengan Mastercard.

* Amerika lagi lagi dapat duit. Tiap kali transaksi menggunakan kartu debit ini dilakukan, ada bagian duit yang mengucapkan "wassalam" pada pemiliknya. Duit itu hijrah ke Amerika.

B. Kesepakatan bisnis bernilai 4,547 miliar dollar AS terbagi atas tiga grup, yakni:

Grup 1
1. Kesepakatan antara PT PLN (Persero) dan UPC Renewables dengan nilai sebesar 850 juta dollar AS untuk pembangunan 350 MW Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dalam waktu tiga tahun (2015-2018).

* Sama dengan listrik untuk Gorontalo di atas, di sini Indonesia adalah pembeli.

2. Kesepakatan antara Cikarang Listrindo dan General Electric dengan nilai investasi sebesar 600 juta dollar AS untuk perluasan pembangunan pembangkit listrik (IPP).

* Idem ditto, kembali Amerika yang dapat duit.

3. Kesepakatan antara PT Indonesia Power dan General Electric untuk pembangunan pembangkit di Jawa Tengah sebesar 700 MW senilai 400 juta dollar AS.

* Untuk menghindari idem ditto, saya sebut saja "sda", alias "sama dengan atas".

4. Kesepakatan antara PT PLN Batam (Persero) dan General Electric senilai sebesar 525 juta dollar AS untuk pembangunan pembangkit bergerak (mobile) 500 MW di Mataram, Bangka, Tanjung Jabung, Pontianak, Lampung, dan Sei Rotan.

* Masih "sda".

Grup 2
1. Kesepakatan antara PT Kereta Api Indonesia dan General Electric senilai 60 juta dollar AS untuk perawatan 50 lokomotif selama 8 tahun.

* Jelas, kita akan membayar Amerika untuk perawatan barang yang sudah puluhan tahun orang-orang Indonesia dari jaman jawatan kereta api sampai jaman PT Kereta Api sudah lakoni.

2. Kesepakatan antara PT PLN (Persero) dan Caterpillar senilai 500 jutadollar AS untuk proyek 2 GW pembangkit tenaga hibrida dan proyek solar PV+ penyimpanan energi untuk microgrid di daerah-daerah terpencil (500 pulau) dengan solusi pembiayaan initial capital investmentmelalui power purchase agreement dengan PLN.

* Kisah yang sama dengan proyek-proyek listrik di atas.

3. Rencana perluasan investasi Cargill pada tahun 2015-2019 dengan nilai sebesar 750 juta dollar AS. Dana investasi sebesar 84 juta dollar ASsudah direalisasikan sehingga investasi baru yang akan dilakukan sebesar 666 juta dollar AS.

* Kita sebut saja, untuk yang ini Amerika-lah yang membawa duit ke Indonesia.

4. Pembangunan fasilitas pemanufakturan ulang untuk Cylinder Head di Cileungsi, Bogor, oleh Caterpillar senilai sebesar 12 juta dollar AS yang merupakan self signing.

* Kita yang membayar

Grup 3
1. Kerja sama antara Perum Peruri dan Crane Currency untuk pembangunan pabrik pengaman uang kertas yang akan dibangun di Karawang dengan nilai sebesar 10 juta dollar AS dan antara Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) dengan Jarden Zinc untuk pembangunan pabrik di Karawang dengan nilai sebesar 30 jutadollar AS.

* Jelas sekali, kita-lah yang membayar.

2. Kerja sama PT Pertamina dengan Bechtel Corporation dalam kurun waktu 5 tahun untuk pembangunan dan pengembangan kilang dengan nilai transaksi 800 juta dollar AS.

* Lagi lagi kita.

3. Kerja sama antara Kilat Wahana Jenggala dan Hubbell Power Systems, yaitu ekspansi pada existing plant yang memproduksi atau merakit insulator transmisi polimer untuk distribusi listrik, dengan menambah lokalisasi transmisi sebesar 5 juta dollar AS-10 juta dollar AS.

* Kita yang akan membayar mereka...

**kesimpulan mengarah ke: Amerika adalah Kita. Mirip mirip jargon kampanye.

Nah... sekarang, silahkan ditilik-tilik, dari "oleh-oleh" sebesar total 275 Trilyun ini, berapa yang murni "milik kita"? Seberapa besar maslahat kita? Atau ini, sebaliknya, bukan "oleh-oleh" buat kita di tanah air, melainkan "oleh-oleh" yang dibawa Jokowi untuk Amerika?

Saya sudah nulis sekian halaman, tugas teman-teman hanya ambil kalkulator saja... saya sendiri mau nangis. Apakah Jokowi memahami apa yang di tanda tangani?


http://kenisah.blogspot.com