Tuesday, December 5, 2017

Calon Hero

Jujur ini bukan medan saya. Tetapi lahan seseorang, sebut saja Si "O". Tetapi entah kenapa, sidang Dewan Perwira memutuskan saya yang harus memimpin pertempuran di medan tersebut. Dan saya *sami'na waatho'na*.
Perintah adalah perintah.

Tentunya sebelum memulai pertempuran, pasti saya menyusun pasukan. Organik pasukan siapa ? Ya pasti saya meminta kepada si O, orang yang selama ini memimpin pasukan yang bisa bertempur di medan tersebut.

Jadi ? Apakah si O menyerahkan pasukannya ke saya ?

Jawabannya pasti bisa ditebak : TIDAK.

Si O ingin saya bertempur sendiri hingga babak belur. Dan diakhir ceritera Si O akan muncul dengan pasukannya untuk meng-klaim kemenangan.

Seperti itulah skenario *calon hero* dugaan saya.... Wallahualam.

Friday, June 2, 2017

Refleksi 1 Juni Oleh Prof Ryas Rasyid.

Tulisan Prof Dr Ryas Rasyid perlu dibaca, terutama buat mereka yang mendadak jadi Pancasilais.
#Refleksi 1 Juni Oleh Prof Ryas Rasyid.#

Hari ini 1 juni 2017 diperingati sebagai jari lahir Pancasila. Ramelah diskusi, perdebatan, pemujaan dan kritik thdp sakralisasi hari ini. Tapi sekedar warning jangan PS terus2 dipelihara sekedar sebagai mantra, ritual, dan rhetorika belaka. Dalam kenyataan apakah PS sdh hadir melalui semua kebijakan negara? Apakah sdh hadir di kantor2 polisi, di kejaksaan, pengadilan, ktr pemerintah lainnya dan di pasar2? Kalau ada seseorang setengah gila bertanya di mana saya bisa lihat dan bertemu PS, tersediakah rujukan hidup bangsa kita yg dapat diobservasi?

Yg paling saya cemaskan ttg kehidupan bangsa kita saat ini adalah semakin nyatanya perbedaan dan jurang antara kata dan perbuatan. Hilanganya daya genggam masyarakat terhadap setiap janji para pemimpin, sulitnya menemukan sebutir keadilan sosial di tengah lautan kehidupan yg luas dan carut marut.

Fenomena kemunafikan semakin mencengkeram daya persepsi kita dalam melihat masa depan. Kemunafikan cenderung menjadi gaya hidup. Kebohongan dan ingkar janji menjadi seni kepemimpinan sehingga bayak awam yg alami disorientasi, halusinasi, dan terjebak dalam ilusi seolah olah tak ada masalah sama sekali.

Mereka bahkan terperangkap kemusyrikan halus ketika pemujaan pada pemimpin munafik menjadi kebanggaan warganegara.

Sekarang tiba2 para penjahat ekonomi terserang penyakit jiwa berat dengan slogan membela bhinneka tunggal ika, nkri harga mati, rela mati untuk pancasila. Para patriot mendadak atau mendadak patriot ini lupa bagaimana kaum pribumi didiskriminasi dan dilecehkan di tempat tempat kerja mereka di lingkungan perusahaan para patriot mendadak itu.

Cilakanya jaringan pers milik mereka mendramatisir slogan2 kosong itu seraya menyudutkan dan mengecilkan teriakan mayoritas rakyat yang nyata2 mengalami akibat dari kepincangan sosial ekonomi produk negara ini.

Ketidak adilan sosial adalah produk dari sistem. Bukan hasil proses alamiah dan pasti bukan takdir. Itu adalah produk sistem negara.

Maka, secara moral negara tdk punya lagi basis moral untuk memaksa rakyat tunduk pada kebijakan yang terbukti sdh gagal menghadirkan keadilan dan kesejahteraan.

Masyarakat Adil dan Makmur semakin jauh menghilang dalam angan2 masyarakat pada lapisan bawah. Dalam mimpi pun sdh tak pernah hadir. Diantara mereka ada yg menganggap M A M itu adanya di akherat, dibawah pemerintahan langsung oleh Allah SWT. Bukan di sini. Dan tak akan pernah hadir di NKRI harga mati ini, setidaknya dalam masa yg bisa kita prediksikan. Wallahu alam.

Thursday, June 1, 2017

Mualaf Pancasila

*Selamat Datang Para Mualaf Pancasila, Marhaban*

*_Oleh : Hersubeno Arief_*
Konsultan Media dan Politik

Mualaf adalah sebuah kata merujuk kepada nonmuslim yang berpindah keyakinan menjadi Islam. Kata yang berasal dari bahasa Arab itu telah diserap dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut sebagai "orang yang baru masuk Islam".

*Dalam agama Kristen mereka disebut sebagai domba-domba yang tersesat dan kembali berkumpul dengan gembalanya, Yesus Kristus.* Intinya adalah mereka yang baru beriman dan kembali ke jalan kebenaran.

Terminologi dalam agama tersebut sangat pas untuk menggambarkan fenomena menarik yang tengah terjadi di Indonesia sepanjang perhelatan Pilkada DKI 2017.

Prosesnya tidak mendadak sontak, tapi lumayan panjang. Diawali dari sebelum masa kampanye, menjadi sangat ramai saat kampanye berlangsung dan imbasnya masih terus terjadi hingga saat ini. Momentumnya kian menaik bersamaan dengan peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni.

Jadi jangan heran bila mendapati teman, saudara, tetangga, kenalan, kawan di kantor, atasan,  ataupun orang yang sedang bermusuhan dengan Anda, tiba-tiba statusnya di medsos berubah dengan lambang Garuda Pancasila dalam kombinasi warna merah putih.

Simbol-simbol NKRI, kebhinekaan, toleransi dan berbagai atribut nasionalisme lainnya menggantikan _profile picture,_ foto-foto narsis, foto mobil-mobil mewah atau foto hewan piaraan yang selama ini selalu menghiasi berbagai platform  medsos mereka.

*Namanya juga orang "baru beriman", semangatnya sedang sangat menggebu-gebu. Mereka biasanya merasa lebih beragama, lebih beriman dibandingkan orang yang sudah lebih dulu beriman.*

Mereka merasa lebih Pancasila, lebih NKRI, lebih bhineka, lebih toleran dibandingkan orang yang sejak lama telah ber-Pancasila.

Tidak perlu sebal, tidak perlu marah. Kita malah harus mensyukuri "domba-domba yang tersesat" itu kembali ke gembalanya. Bila terlalu lama tersesat dan tidak dalam rombongan, mereka bisa dimakan serigala.

Dalam Islam para mualaf ini harus disantuni, diayomi. Pada hari raya Idul Fitri mereka termasuk dalam kelompok yang berhak mendapatkan bagian zakat fitrah,  supaya dapat ikut bergembira merayakan Hari Kemenangan.

Berbeda dengan orang atau kelompok yang sudah lebih dulu "beriman" dengan Pancasila. Mereka tidak perlu gembar-gembor, pasang status, apalagi merasa paling Pancasila, paling NKRI, paling bhineka. Seperti bunyi pepatah "batang padi, makin berisi, makin tertunduk". "Air beriak tanda tak dalam".

*Tukang mengkafirkan orang lain*

Biasanya ada dua jenis orang yang menjadi mualaf. *Pertama,* adalah kelompok orang yang sangat menyesali diri karena lama tersesat. *Kedua*, kelompok yang terlalu bersemangat dalam beragama dan menilai orang lain, termasuk mereka yang sudah lebih dulu beriman, sebagai orang kafir.

Di luar dua kelompok itu, ada kelompok ketiga yang mengaku beriman, tapi sebenarnya tidak. Atau dalam agama Islam disebut sebagai kaum munafik.

*Kelompok pertama* biasanya ditandai dengan semangat keberagamaan yang tinggi. Mereka lebih aktif beribadah, baik ibadah ritual, maupun ibadah sosial. Mereka menyadari bahwa selama ini mereka telah keliru, telah tersesat jauh dari jalan Tuhan. Mereka menjadi lebih ramah, lebih baik dan wajahnya berseri-seri.

*Kelompok kedua* adalah kelompok yang merasa paling beragama dan bahayanya menganggap orang lain sebagai kafir. Dalam khasanah pemikiran Islam orang-orang seperti ini disebut sebagai *_takfiri._* Yang menganggap orang lain kafir, padahal sesama Islam. Menganggap praktik beragama orang lain tidak benar. Yang paling benar adalah mereka.

*Fenomena ini juga belakangan sangat terasa dari perilaku para "mualaf" Pancasila. Mereka menilai orang lain tidak Pancasilais.*

Bagi yang paham sebuah proses "keimanan" tahapan seperti ini sesungguhnya biasa saja. Cukup disambut dengan senyum dikulum. Biarkan proses alam berlangsung dan tinggal menunggu sampai berapa lama mereka bertahan.

Masalahnya kelompok "takfiri" Pancasila ini ulahnya sudah mulai keterlaluan. Mereka tidak sekedar mengkafirkan Pancasila-nya kelompok lain, tapi mereka sudah mencoba memaksa mendorong kelompok Pancasilais sejati sebagai kelompok yang tidak cinta Negara Kesatuan Indonesia (NKRI). Sebagai penumpang baru, mereka mencoba mendorong penumpang lama ke luar perahu. Kalau perlu sampai tercebur ke laut. Nah ini kan sudah gawat.

Wajar bila kemudian muncul reaksi dan perlawanan. Dari mulai perlawanan yang ringan dengan ucapan "selama ini _lu kemana aja siy?_,"   sampai reaksi yang lebih keras "waktu revolusi kemerdekaan dulu apa peran _engkong lu? Engkong gua_ berjuang mengorbankan harta benda, bahkan nyawa. Sementara _engkong lu_ menjadi kolaborator penjajah. Kok sekarang tiba-tiba _lu_ menjadi paling Pancasila. *_Ngaca deh!."_*

*Kelompok kaum munafik*

Kelompok ini adalah kelompok yang paling berbahaya. Mereka mengaku beriman, tapi sesungguhnya punya niat terselubung, ingin merusak dari dalam. Dalam Islam kaum munafik ini hukumnya wajib diperangi!. Gawat!

*Mengapa hukum terhadap para munafik sangat berat?  Karena kaum munafik ini adalah musuh dalam selimut, menggunting dalam lipatan. Mereka mengaku Pancasila bahkan merasa paling Pancasila, tapi kelakuannya sangat jauh dari praktik Pancasila yang baik dan benar.*

Mereka mengaku Pancasilais hanya untuk kepentingan politis. Hanya untuk memenangkan pilkada atau mungkin pilpres. Pola hidup dan perilakunya sungguh jauh dari nilai-nilai Pancasila.

*Tes Kesetiaan Pancasila*

Untuk mengecek apakah seseorang benar-benar Pancasila atau sekedar "munafik" Pancasila, gampang kok alat ukurnya. Coba minta mereka menyebutkan urut-urutan Pancasila.

Kalau tidak hafal berarti mereka hanya mengaku-ngaku Pancasilais. Mendadak Pancasila.

Kalau mereka hafal di luar kepala sila-sila dalam Pancasila bahkan sampai sesuai urutannya, masih perlu dites lagi. Apakah perilaku dan pola hidupnya sesuai dengan Pancasila?

Mari kita mulai dengan sila pertama *Ketuhanan yang Maha Esa* Kelompok yang masih mengagung-agungkan PKI, menginginkan PKI berjaya kembali di Indonesia, kelompok atheis, kelompok liberal yang menganggap agama telah ketinggalan zaman, kelompok yang mengaku beragama, tapi tidak menjalankan agamanya dengan baik, adalah kelompok yang tidak sesuai dengan sila pertama.

Mereka tidak berhak mengaku sebagai Pancasilais. Jadi mereka tidak lulus tes. Mulai sekarang copot _profile picture_ lambang Garuda Pancasila dari medsos Anda.

Sila kedua, *Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.*  Orang-orang yang memperlakukan manusia lain secara tidak adil dan beradab, jangan pernah mengaku Pancasila.

Siapa saja mereka? Mulai dari para pejabat yang melakukan penggusuran sewenang-wenang, aparat hukum yang tidak adil, para majikan dan bos yang memperlakukan pembantunya dengan seenaknya, para pengusaha yang memeras para pekerja dan membayar upahnya dengan rendah, pendukung hubungan sejenis. Semuanya kelompok tadi tidak sesuai dengan butir-butir Pancasila.

Sila ketiga, *Persatuan Indonesia*. Kelompok-kelompok yang menyalakan lilin di berbagai kota dan belahan dunia sambil melaporkan Indonesia sebagai negara pelanggar HAM ke lembaga-lembaga internasional, berteriak-teriak ketika adzan sedang dikumandangkan dari sebuah masjid, menilai orang lain tidak NKRI, tidak bhineka dan kelompok sejenis lainnya, adalah kelompok yang bertentangan dengan butir sila ketiga.

Orang atau kelompok di luar negeri yang menjelek-jelekkan dan kampanye buruk terhadap bisnis sesama anak bangsa, hanya karena beda pilihan politik, mereka ini adalah ancaman bagi integrasi bangsa.

Sila keempat, *Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan*.

Kelompok-kelompok yang tidak mengakui suara rakyat sebagai suara yang berdaulat, kelompok yang tidak mengakui eksistensi partai sebagai sistem perwakilan rakyat  termasuk kelompok yang tidak memahami butir sila keempat. Termasuk dalam kelompok ini adalah orang-orang yang setiap kali ada pilkada memilih kabur ke luar kota atau ke luar negeri. Sekali-kalinya ikut pilkada dan jagoannya kalah, _ngambeknya_ sampai kemana-mana.

Sila kelima, *Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia*. Orang-orang atau kelompok-kelompok yang sangat kaya dan masih serakah  menilap dana BLBI, kemudian kabur ke luar negeri adalah kelompok yang tidak sesuai dengan nilai butir sila kelima.

Kelompok yang menguasai tanah jutaan hektar sementara banyak petani yang tidak memiliki tanah, kelompok yang melakukan reklamasi pantai meggusur ribuan nelayan, kelompok yang membuka pasar-pasar modern dan mart-mart yang mematikan usaha kecil menengah, adalah orang yang tidak mengamalkan sila kelima.

Mereka yang mempunyai rumah berpagar tinggi, dijaga anjing galak, tidak kenal tetangga, rapat warga tidak pernah datang, kerja bakti/gotong royong warga tidak pernah muncul ini adalah orang atau kelompok yang  bertentangan dengan butir sila kelima.

Semua kelompok maupun orang-orang tadi, kalau tiba-tiba mengaku paling Pancasila, jangan percaya!

Gampang kan untuk menguji siapa yang Pancasilais dan siapa yang tidak?

Tidak perlu sesama anak bangsa saling klaim merasa dirinya paling Pancasilais, paling membela NKRI.

Mari bergandeng tangan. Negara ini terlalu besar hanya untuk diurus sekelompok orang maupun golongan.

Bangsa ini dianugerahi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa ribuan pulau, suku, bangsa dan bahasa. Secara fitrah kita ditakdirkan berbeda untuk bersatu. Cari titik persamaannya, bukan perbedaannya.

*Mari kita sambut para "mualaf Pancasila" ini dengan tangan terbuka.*

*Mumpung kita sedang memperingati  hari lahirnya Pancasila bertepatan dengan bulan Ramadhan pula,  mari ucapkan " Marhaban ya para mualaf Pancasila. Kalian adalah anak bangsa, seperti kami juga."*
End

Sunday, May 28, 2017

MALU AKU JADI ORANG INDONESIA

http://www.portal-islam.id/2017/04/taufik-ismail-malu-aku-jadi-orang.html

*MALU AKU JADI ORANG INDONESIA*
(Karya Taufik Ismail)

Di negeriku yang didirikan pejuang religius
Kini dikuasai pejabat rakus
Kejahatan bukan kelas maling sawit melainkan permainan lahan duit

Di negeriku yang dulu agamis
Sekarang bercampur liberalis sedikit komunis
Ulama ulama diancam karena tak punya pistol
Yang mengancam tinggal dor

Hukum hukum keadilan tergadai kepentingan politis
Akidah akidah tergadai materialistis

Aku hidup di negara mayoritas beragama Islam
Tapi kami tersudut dan terancam
Telah habis sabarku
Telah habis sabar kami

Pada presiden yang tak solutif
Pada dewan dan majelis yang tak bermufakat
Pada semua bullshit yang menggema saat pemilu
Pada nafsu yang didukung asing dan aseng
Rakyat kelas teri tak berdosa pun digoreng

Kusaksikan keindahan negara yang menegakkan khilafah
Diceritakan hidup mereka sejahtera
Lalu ditanyai dari mana asalku
Kusembunyikan muka
Tak kujawab aku dari Indonesia
Negara yang kini tumbuh benih islamophobia

Tuesday, May 16, 2017

De-Islamisasi Indonesia


Oleh : Felix Siauw

Yang namanya kebetulan itu terjadi satu dua kali masih wajar, tapi bila terjadi berkali-kali, maka itu bisa disebut modus. Dalam matematika modus biasanya punya pola

Tidak hanya pola, tapi modus biasanya juga berisi sebuah pesan dari perancangnya, baik ia sadari ataukah tidak, dari situ kita bisa melihat yang harusnya tak terlihat

Kejadian akhir-akhir ini menunjukkan kepada kita pola tersebut, sebab terlalu banyak kebetulan yang terjadi. Yang bisa kita lihat, ada upaya sistematis de-Islamisasi

Negeri ini mayoritasnya Muslim, pemerintahnya pun Muslim, tapi aksi de-Islamisasi ini sesungguhnya sudah berjalan sangat lama, dari negeri ini merdeka bahkan

Pelaku de-Islamisasi ini berusaha mereduksi peran Muslim dalam kemerdekaan Indonesia, juga mengaburkan fakta bahwa Islamlah yang menjadi inspirasi kemerdekaan

Lebih daripada itu, pelaku de-Islamisasi ini mencoba menutup fakta bahwa dulu penjajah itu datang membawa 3G yang mana itulah sumber kesengsaraan ummat di nusantara

Adalah gold (emas), gospel (injil), glory (jaya), yang mewakili kepentingan kapitalis, misionaris, dan imperialis. Mereka tak hanya inginkan harta, tapi juga tahta dan agama

Maka bangkitlah perlawanan kaum Muslim oleh para ulama, yang menyeru kaum Muslim menegakkan agama Islam, yang memang musuh alami dari keserahakan

Dari ujung barat hingga timur bergejolak, ulama memberi fatwa bahwa membela tanah dan harta bagian dari seruan agama, sebab memang begitulah penjagaan dalam Islam

Negeri ini berhasil dimerdekakan dari penjajah, agar tak lagi pecah dan terjajah, maka disatukanlah dengan semangat yang memerdekannya, yaitu karena Allah

Sejarah menghantarkan kita bagaimana modus ini bermula dari hilangnya 7 kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", lalu berlanjut

Islam yang menginspirasi perjuangan gagal diinstall dalam negeri tercinta, ulama-ulama yang memperjuangkannya lalu ditekan, bahkan dikriminalisasi

Belum usai sampai disitu, tokoh-tokoh Islam seperti Muhammad Natsir dan Buya Hamka pun kembali melanjutkan cita-cita ulama pendahulu seperti Ki Bagus Hadikusumo

Sejarah kembali mencatat, upaya de-Islamisasi itu kembali berhasil, syariat Islam kembali gagal menjadi dasar negara, yang memperjuangkannya lalu dipenjara

Tahun demi tahun berganti, namun upaya menjauhkan Islam dari kaum Muslim tak berhenti, sekulerisasi mulai merata di seantero negeri, Muslim tapi tak paham Islam

Islam direduksi hanya sekedar ibadah ritual, sementara Allah seolah hanya ada di masjid dan bulan ramadhan, negara seolah steril dari pengawasan dan hukum Allah

Sementara penjajahan gaya baru mulai mencengkram negeri ini, kekayaan Indonesia dikuasai segelintir, tapi para kapitalis tidak puas, mereka inginkan lebih lagi, seluruh negeri

Bila selama ini para kapitalis puas hanya membackup mereka yang berkuasa, kini mereka ingin lebih, mereka ingin jadi penguasa itu sendiri, lebih leluasa

3G itu seolah berulang kembali, Gold-Gospel-Glory, mereka mulai menggunakan pengaruhnya lewat politik pencitraan, tak mau lagi salah kedua kalinya

Bila dulu mereka gagal lewat penjajahan fisik, maka mereka sudah belajar, sekarang mereka coba masuk lewat perang pemikiran, penjajahan model baru

Hampir saja mereka berhasil, hanya saja Allah berkehendak lain, terjadilah kasus Al-Maidah 51, lidah si penista jadi blunder bagi rencana besar penjajah model baru ini

Ummat Muslim seolah bangkit dari tidur panjangnya, momen ini seolah teguran Allah sekaligus penyatu segenap ummat. Dengan gagahnya ummat membela Al-Quran

Gerakan aqidah yang awalnya diremehkan ini menjadi gelombang raksasa yang siap melumat apapun, namun tetap santun dalam aksinya, berakhlak mulia

Ummat tak segan-segan mengorbankan hartanya, silaukhuwah dengan mudah terjalin antar gerakan Islam, kelompok Islam bersatu turun ke jalan membela agamanya

Airmata berderai saat menyaksikan kalimat takbir, tahmid, tahlil, berpadu dengan kibar bendera tauhid, senyum-senyum ikhlas yang takkan terlupakan sampai kapanpun

Disinilah para penjajah menjadi gerah, rencana mereka bisa hancur bila kaum Muslim bersatu dan sadar apa yang terjadi, semangat Islam naik secara drastis

Mulailah polarisasi dilakukan untuk meredam kaum Muslim, khas cara syaitan menakut-nakuti manusia. Muncullah tuduhan-tuduhan pada mereka yang membela agamanya

Mulai dari makar, menggoyang negara, kudeta, sampai anti-kebhinekaan, anti-pancasila, anti-NKRI, termasuk radikal, ekstrim dan benih terorisme

Tapi ummat tak lekang keberaniannya, aksi 411 diikuti 212 begitu herois, mereka tahu persis karena Allah saja mereka bergerak, maka mereka tak takut apapun

Ancaman ditingkatkan, ulama-ulama yang terkait aksi #BelaIslam dikriminalisasi, dicari-cari alasan untuk menjerat, mulai dari prasangka hingga murni fitnah

Dari cara legal sampai cara nakal, kepercayaan terhadap ulama terus digerus, para penjajah menggunakan seluruh kartu yang bisa mereka mainkan, at all cost

Sementara sang penista berusaha terus-menerus diselamatkan, mulai dari menuduh penyebar video sebagai penyebabnya, sampai aksi #BelaIslam adalah bayaran

Mereka menggelari sang penista dan komplotannya dengan simbol kebhinekaan, paling pancasila, paling NKRI, sunan, santri kehormatan, pokoknya dewa

Ummat tak berhenti, karena Allah yang menggerakkan mereka, bahkan saat jaksa mencoba memainkan tuntuntan, ummat tetap setia mengawal hukum agar ditegakkan

Alhamdulilah, sang penista mendapatkan hukumannya. De-Islamisasi yang mereka rancang sedari dulu berantakan, ummat malah makin dekat dengan Islamnya

Tapi para penjajah ini tak mau berhenti, the show must go on. Maka dimainkanlah modus lama, de-Islamisasi degan cara yang lebih keras, lebih kasar, tak terhormat

Bila Natsir dan kawan-kawan dulu dianggap pembangkang dan pemberontak, hari ini gelar ini juga diberikan pada mereka yang konsisten untuk memperjuangkan syariat Islam

Dan Hizbut Tahrir mendapatkan kehormatan pertama kali untuk masuk dalam ujian ini. Wacana pembubaran dilempar, lalu lihat bagaimana reaksi ummat Muslim semuanya

Yang ingin saya sampaikan sedari tadi, masihkah kita tak sadar bahwa ini rangkaian de-Islamisasi yang sama sejak masa penjajahan? Hanya saja beda penjajahnya

Arus Islam yang sedemikian kuat dan dahsyat ini harus dibuat lemah. Bagaimana caranya? Bubarkan mereka, adu kelompok yang tersisa, buat saling tidak percaya

Kali ini fitnah semua sudah mengarah kesana, dan ujian kini bagi kita kelompok Islam adalah bagaimana tetap menyatu dan membahu menghadapi de-Islamisasi ini

Apalah Hizbut Tahrir dibandingkan kelompok lain di negeri ini, hanya saja kita perlu ketahui, ini bagian pelemahan kekuatan ummat, satu persatu akan mendapat giliran

Masyumi dulu pernah merasakan hal yang sama, tokoh-tokoh Islam yang sekarang kita kagumi pun pernah mendapatkan tuduhan yang sama, itu modus bukan kebetulan

Di sisi lain, gerakan-gerakan yang mendukung penista agama walau anarkis terkesan dibiarkan, tak seperti aksi #BelaIslam yang bahkan mujahid Camis harus berjalan kaki

Hari ini Hizbut Tahrir diwacanakan dibubarkan, wacana FPI untuk dibubarkan pun sudah diramaikan, yang berada di depan dalam amar ma'ruf nahi munkar, dihabisi dulu

Kini ujian itu di depan mata kita, mampukah kita solid untuk senantiasa bersama dalam perjuangan ini, hingga Allah berkenan menyatukan hati-hati kita

Yang jelas, cara-cara keras, kasar dan tak terhormat ini takkan dilakukan bila tidak ada kepanikan. Bahwasanya para penjajah itu tahu Islam di ambang kebangkitan

Para penjajah itu mungkin sudah merancang segalanya, tapi Allah pun sudah merancang yang lainnya, dan adalah Allah yang paling indah rancangannya

Upaya de-Islamisasi akan terus mereka lanjutkan, dan kita pun akan tetap melanjutkan dakwah apapun urusannya. Sebab dakwah takkan pernah terhenti

Thursday, May 11, 2017

*Hizbut Tahrir Indonesia, Jokowi, dan Taxi Online*


Oleh : Hersubeno Arief
Konsultan Media dan Politik

Apa kalkulasi dan target politik pemerintahan Jokowi mengajukan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)? 

Dari sisi hukum perdebatannya bisa sangat panjang. Namun dari sisi perubahan sosio-demografis  dan sosio-politis jawabannya menjadi sangat sederhana.

Jokowi dan orang-orang di pemerintahannya, terutama beberapa orang dekatnya gagal memahami adanya sebuah perubahan besar. Dalam bahasa anak muda sekarang "gagal paham." 

Di era digital yang segala sesuatunya berubah sangat cepat, pemahaman  dan adaptasi terhadap perubahan itu sangat penting. Sebuah keniscayaan, hukum alam yang tidak bisa ditentang.

Setidaknya ada tiga penyebab  mengapa Jokowi dan beberapa pembantu dekatnya seperti Luhut Binsar Panjaitan gagal paham. *Pertama,* _cultural shock_ generasi _digital immigrant._ *Kedua,*kegagalan memahami  perubahan prinsip _owning_ ke _sharing._ *Ketiga,* kegagalan memahami  sosio-demografis dan politis umat Islam.

*_Cultural  shock_* *generasi _digital immigrant_*

Jokowi dan orang-orang dekatnya  adalah generasi yang lahir tahun 1950-1960an. Beberapa diantaranya malah ada yang lahir di era 1940an. Sementara secara demografis sebagian besar  penduduk Indonesia adalah generasi yang lahir di tahun 1970-1990an.

Generasi yang lahir di era 1970an ke atas adalah generasi yang tumbuh bersama munculnya era internet yang  kemudian  disebut sebagai era digital.

Mereka yang tumbuh di tahun-tahun tersebut, bahkan termasuk yang lahir di tahun 2000an,  adalah generasi yang kesehariannya akrab dengan berbagai teknologi modern yang bersifat digital. _Digital freak_, _gadget freak._Makanya mereka disebut sebagai generasi  _digital native,_ pribumi, penduduk asli.

Sementara generasi sebelumnya, termasuk Jokowi walaupun mengerti dan menggunakan gadget, mereka adalah _digital immigrant,_ penduduk pendatang, alien.

Walaupun sudah mendapat _green card_ dengan status _permanent resident,_ tapi namanya juga pendatang pasti banyak mengalami kekagetan budaya.

Ingin siy bergaul, ingin siy terlibat langsung, namun tetap saja ada kegagapan, ada gegar budaya.

Analogi yang mudah, kira-kira begini. Generasi imigran ini  secara ekonomi sudah mapan, mereka bisa membeli berbagai gadget yang mahal dan fitur yang canggih, namun penggunaannya terbatas.
Kalau toh mereka bisa memanfaatkannya paling hanya untuk foto, sms dan yang sudah lumayan canggih memanfaatkan fitur medsos seperti WA Group atau kalau dulu BBM. Fitur-fitur lain yang sangat canggih, jangan cerita. Dalam bahasa anak sekarang, *_gaptek abis dah._*

Sebaliknya generasi  _digital native_ terutama yang lahir tahun 1990-2000 walaupun hanya bisa membeli gadget buatan Cina,  namun mereka mereka bisa meng-oprek habis berbagai fiturnya. Bahkan terkadang sampai jebol.

Yang rada serem adalah generasi 1970-1980an. Mereka punya uang,  bisa beli gadget dengan fitur yang canggih dengan kemampuan meng-oprek yang yang luar biasa.

Mereka benar-benar terintegrasi dalam dunia digital. Mulai dari  bisnis, mencari teman, mencari jodoh, menggalang kekuatan sosial, ekonomi dan politik melalui dunia digital.

Soal-soal yang begini tidak akan dipahami oleh Jokowi dan orang-orangnya. Benar bahwa Jokowi dan para pembantunya bermain _Twitter, IG, Facebook_ dan lain-lain, tapi berani bertaruh kebanyakan dioperasikan oleh para adminnya. Jadi ya tidak _genuine._

Dalam konteks demokrasi analogi gadget tadi juga bisa kita gunakan. Jokowi dan orang-orang dekatnya terlibat dalam proses demokrasi. Tapi fitur demokrasi yang mereka pahami hanya sebatas pilkada dan pilpres.

Padahal fitur demokrasi tidak hanya sebatas itu, ada masalah kebebasan berpendapat, termasuk melakukan kritik terbuka terhadap pemerintah, HAM, kesamaan gender  dan lain lain.

*_Prinsip owning dan sharing_*

Konskuensi dari era digital yang sangat terasa adalah pada prinsip ekonomi yang tadinya _owning,_ kepemilikan, menjadi _sharing,_ berbagi.

Contoh nyata terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan juga kota-kota besar dunia lainnya adalah keterkejutan operator taxi konvensional atas hadirnya taxi berbasis aplikasi atau sering disebut taxi online.

Hadirnya  Uber, Gojek, Grab  dan kawan-kawan membuat taxi konvensional sekelas Blue Bird terkaget-kaget.

Gagal bersaing dan merasa terancam oleh taxi online,  para pengemudi melakukan unjuk rasa, bahkan sampai terjadi bentrokan. Namun namanya sebuah keniscayaan ya sulit dilawan. Para pengguna tetap memilih taxi online karena nyaman, murah, pasti dan aman.

Cukup tunggu dirumah panggil melalui aplikasi, harga murah dan pasti. Bandingkan dengan taxi konvensional yang harus menunggu di pinggir jalan atau setidaknya order lewat telefon. Belum lagi tarifnya lebih mahal.

Gagal dengan demo, akhirnya mereka melobi pemerintah untuk membuat regulasi yang ketat. Tapi aturan tersebut tetap tidak efektif. Pilihannya terus menentang, menghambat atau beradaptasi.

Lantas apa hubungannya dengan Jokowi?  Sebagai generasi _digital immigrant,_ Jokowi  dan orang-orangnya tidak menyadari bahwa era digital mengubah semua struktur dan tatanan kehidupan, termasuk dalam soal  demokrasi, pemerintahan dan kekuasaan.

Jokowi walaupun hidup dalam era demokrasi, namun menjalankan pemerintahannya masih menggunakan  paradigma lama, penguasa, bukan pelayan rakyat yang dipilih melalui pemilu.

Akibatnya ketika ada suara-suara kritis yang dilakukan, mereka  masih menggunakan _manual book_ yang lama.

Makanya tidak mengagetkan ketika muncul gelombang Aksi Bela Islam  karena penistaan agama oleh Ahok, dihadapi  dengan cara  labelisasi,  kelompok radikal, tidak bhineka, anti NKRI. Bila jurus ini tidak mempan, maka  dilakukan kriminalisasi. Masih tidak mempan juga, lancarkan jurus  yang lebih ampuh berupa tuduhan makar. Nah bila tuduhan makar juga tidak mempan, ya bungkam.

Ini mirip-mirip apa yang dilakukan  Soeharto pada masa Orde Baru menggunakan kosa kata "gebuk"  untuk para pengritiknya yang dianggap melampaui batas.

Semua itu  _manual book_ lama, buku panduan lama   masih digunakan orang seperti Luhut  yang dengan gagah berani  pasang badan untuk proyek reklamasi. 

Ingat Luhut adalah tentara yang pada masa Orde Baru adalah alat paling efektif  menopang kekuasaan Soeharto. Jadi sikapnya seperti itu tidak mengherankan.

Sayangnya belakangan Wiranto kok  juga ikut-ikutan dengan rencana pembubaran HTI. Padahal sebelumnya Wiranto  adalah salah satu  pembantu Jokowi yang paling bisa berdialog dengan kalangan ulama. Sekarang dia ikut membakar jembatan.

Bagi generasi yang pernah hidup di masa Orde Baru, pola seperti itu tidak mengagetkan. Sudah hapal luar kepala.
Jokowi masih berpikir bahwa dengan menjadi presiden, maka dia adalah penguasa.

Dia lupa bahwa pada era demokrasi menjadi presiden adalah mandat dari rakyat. Di era digital kekuasaan itu bukan _owning,_ kepemilikan, tapi _sharing,_ harus berbagi, menjadi milik bersama.

Bila muncul suara kritis, bukan  pukul, tapi rangkul. Tanya pada mereka, ada apa? Apakah ada yang bisa kita bicarakan? Apakah bisa kita lakukan kompromi, mencari jalan keluar bersama.

Bila tetap bersikukuh dengan prinsip mandat dari rakyat adalah kepemilikan kekuasaan, maka dapat dipastikan  Jokowi dan orang-orangnya akan bernasib sama dengan taxi konvensional, ditinggalkan para pelanggannya.

Mereka akan memilih pemimpin yang paham prinsip _sharing power,_ bukan _owning power_ seperti Jokowi yang ketika diberi mandat, kemudian lupa diri dan bertindak sebagai penguasa.

*Sosio-demografis dan politis*

Secara demografis komposisi penduduk Indonesia didominasi oleh usia muda yang produktif. Para ahli kependudukan banyak melihat kesamaan komposisi demografis Indonesia mirip Jepang setelah Perang Dunia II.

Mereka ini adalah kelas menengah yang mandiri dan sangat terkoneksi dengan dunia digital.

Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka kelas menengah ini juga didominasi oleh anak-anak muda Islam.

Mereka sangat terdidik, berpikiran terbuka, secara ekonomi mandiri dan yang menarik,  _ghirah_ atau  semangat keagamaannya sangat baik.

Mereka inilah sebenarnya yang melalui  medsos  menjadi faktor penggerak hingga jutaan orang bisa berkumpul dalam berbagai Aksi Bela Islam.

Sayangnya lagi-lagi Jokowi melalui kepolisian gagal memahaminya. Mereka menakut-nakuti. Melakukan penghadangan. Mengancam para pemilik bus yang digunakan untuk ke Jakarta. Semuanya gagal.
Mengapa?  Polisi tidak memahami arus perubahan yang tengah terjadi.

Selain itu hal penting lain yang tampaknya gagal  dipahami oleh Jokowi dan orang-orangnya,   Aksi Bela Islam memunculkan fenomena baru menyatunya berbagai _harakah_ (gerakan) Islam yang sebelumnya tidak pernah bisa menyatu.

Silakan sebut apa saja nama aliran dan ormas Islam yang ada di Indonesia, mulai dari yang qunut dan tidak qunut, tahlil tidak tahlil, Salafi, Wahabi, Jamaah Tabligh dan berbagai perbedaan _khilafiyah_ lainnya, semua tumpah ruah menyatu dalam Aksi Bela Islam, termasuk di dalamnya  massa dari  HTI. Bahkan warga NU  yang secara formal dilarang ikut aksi oleh PBNU, bisa dipastikan menjadi penyumbang terbesar massa Aksi Bela Islam.

Tidak mengagetkan ketika kemudian pemerintah memutuskan untuk mengajukan pembubaran HTI ke pengadilan, maka reaksi yang sangat keras muncul  dari kalangan umat Islam tanpa memandang apa latar belakang _harakah-_nya.

Pemerintah tadinya menilai  HTI  sebagai mata rantai terlemah dan ikatannya juga paling kendur dalam komunitas umat. Makanya HTI kemudian dipilih sebagai _test case_. Bila HTI berhasil dibubarkan,  pemerintah dipastikan akan mulai mengincar mata rantai-mata rantai yang lain dan pada gilirannya semua ikatan mata rantai umat Islam bisa dipatahkan.

Pilihan HTI sebagai korban pertama sesungguhnya tidak salah-salah amat. Kendati terlibat dalam berbagai Aksi Bela Islam, tapi dalam Pilkada DKI secara formal HTI tidak terlibat alias Golput.

HTI juga mengusung isu khilafah yang banyak ditolak oleh _harakah-harakah_ lainnya, terutama NU yang mengusung ide Islam Nusantara.

Namun yang nampaknya gagal dipahami oleh Jokowi,  bahwa secara _manhaj_HTI adalah ahlussunah waljama'ah, sama dengan harakah lainnya. HTI  berbeda dengan Syiah ataupun Ahmadiyah, yang dinilai bukan Islam.

Jadi kalau yang mau dibubarkan  Syiah dan Ahmadiyah  dijamin umat Islam tidak akan ribut. Pasti pemerintahan Jokowi akan didukung penuh.

Prinsip dasar bahwa sesama Islam adalah bersaudara, pasca Aksi Bela Islam ikatannya kembali menguat, bahkan sangat  kuat. Ibarat sebuah tubuh ketika  bagian tertentu disakiti, maka yang lain juga akan merasa sakit.

Itulah yang dirasakan umat Islam Indonesia dan menjelaskan mengapa mereka sangat solid menyikapi pembubaran HTI.

Kegagalan Jokowi dan orang-orangnya memahami berbagai perubahan sosio-demografis dan politis menjelaskan mengapa kemudian banyak blunder politik yang dilakukan Jokowi dalam kaitannya dengan umat Islam.

*Alih-alih membangun banyak jembatan untuk mengatasi berbagai perbedaan, Jokowi malah membakarnya. Maklumlah namanya juga gagal paham* end

Sunday, May 7, 2017

Ke-Bineka-an versi Din

Din Syamsuddin: Siapa yang Intoleran dan Antikebinekaan?

JAKARTA. Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsuddin mengatakan, tuduhan terhadap umat Islam sebagai intoleran dan antikebinekaan sungguh menyakitkan hati. Padahal, jasa dan peran umat Islam sangatlah besar dalam penegakan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, sejak masa perlawanan terhadap penjajahan hingga perjuangan menegakkan kemerdekaan.

Begitu pula, kehidupan nasional Indonesia yang relatif stabil dari dulu hingga sekarang adalah karena toleransi tinggi umat Islam yang hidup berdampingan rukun dan damai dengan segenap saudara sebangsa dan setanah air. Toleransi tersebut ditegakkan tanpa memandang Suku, Agama, Ras, dan (Antar) Golongan.

"Tidak dapat dibayangkan keadaan Indonesia jika umat Islam tidak toleran," kata Din dalam siaran pers Jumat (5/5).

Din melanjutkan, kelompok umat Islam yang juga didukung oleh elemen-elemen lain memprotes penistaan agama adalah karena penistaan itu mengganggu kerukunan dan menggoyahkan kebinekaan. Menurutnya, begitu juga ketika mereka menggugat ketidakadilan ekonomi adalah karena itu bertentangan dengan Sila Kelima Pancasila.

"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa mereka menggugat ketidakadilan hukum adalah karena negara kita adalah Negara berdasarkan hukum," kata Din.

Maka dari itu, Din mempertanyakan siapa sebenarnya yang intoleran dan antikebinekaan? Apakah pihak yang memrotes penistaan terhadap pihak lain karena mengganggu kerukunan, dan menggugat ketidakadilan ekonomi dan hukum. Atau justeru pihak yang mendukung pengganggu kerukunan dan antikebinekaan dengan memasuki wilayah keyakinan orang lain.

"Serta mendukung (atau didukung oleh) para pemilik modal yang karena kekayaannya ingin mendiktekan kehidupan nasional sambil berkacak pinggang atas penderitaan mayoritas rakyat?" kata Din.

Menurut Din, ini saatnya masyarakat menegakkan kerukunan sejati, bukan kerukunan semu yang mendukung penghinaan terhadap pihak lain. Apalagi, kerukunan rancu dengan menuduh pihak pemprotes penghinaan terhadap pihak lain sebagai intoleran dan antikebinekaan.

"Saatnya nalar bangsa dijernihkan, saatnya nurani bangsa diputihkan dari kecenderungan manipulasi dan pemutarbalikan fakta, 'Katakanlah, jika kebenaran tiba, kebatilan akan sirna (QS 17:81)'," kata Din. Dilansir republika.co.id

Monday, May 1, 2017

*Tausiyah Kebangsaan Dewan Pertimbangan MUI Hasilkan Enam Poin*

*Tausiyah Kebangsaan Dewan Pertimbangan MUI Hasilkan Enam Poin*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melaksanakan rapat pleno ke-17 di Kantor MUI pada Rabu (26/4). Rapat kali ini mengusung Tema Membangkitkan Marwah Politik Umat Islam. Melalui rapat pleno tersebut Dewan Pertimbangan MUI melahirkan enam poin Taushiyah Kebangsaan.

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, KH Didin Hafidhuddin menyampaikan Dewan Pertimbangan MUI didorong rasa tanggung jawab keagamaan, kebangsaan dan kewajiban melakukan amar makruf nahi munkar untuk kemaslahatan umum, Dewan Pertimbangan MUI menyampaikan *enam poin tausiyah kebangsaan*.

*"Pertama,* kehidupan bangsa dewasa ini, terutama terkait pilkada serentak dan hal-hal yang mengitarinya telah menimbulkan perbedaan pandangan dan kepentingan politik yang tajam yang nyaris membawa perpecahan bangsa," kata KH Didin saat membacakan tausiyah Kebangsaan di Kantor MUI, Rabu sore (26/4).

Ia mengatakan, keadaan saat ini diperparah oleh pertentangan pendapat dan sikap terhadap kasus penistaan agama serta proses peradilannya. Oleh karena itu, Dewan Pertimbangan MUI berpesan agar tidak terjebak dalam pertentangan dan permusuhan. Perbedaan aspirasi dan kepentingan politik tidak harus membawa perpecahan. Persaudaraan kebangsaan tidak harus sampai terganggu.

*Poin kedua,* sikap dan pandangan keagamaan MUI tentang kasus penistaan agama pada 11 Oktober 2016 diperkuat serta didukung Taushiyah Kebangsaan Dewan Pertimbangan MUI pada 9 November 2016. Maka kesimpulannya harus dilakukan penegakan hukum secara berkeadilan, transparan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Ia mengungkapkan, Dewan Pertimbangan MUI tidak bermaksud mencampuri proses peradilan. Namun, proses peradilan atas kasus penistaan agama secara kasat mata telah menunjukan hal yang patut diduga adanya campur tangan lain. Campur tangan tersebut ditunjukkan dengan adanya penundaan penuntutan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Juga JPU yang cenderung membebaskan terdakwa.

"Maka Dewan Pertimbangan MUI menilai bahwa tuntutan itu telah mengusik rasa keadilan masyarakat, khususnya umat Islam," ujarnya.

KH Didin menegaskan, Dewan Pertimbangan MUI memesan kepada lembaga penegak hukum agar berhati-hati dan berhenti dari kecenderungan mempermainkan hukum. Kemudian *poin ketiga* Taushiyah Kebangsaan, Dewan Pertimbangan MUI mengajak penyelenggara negara khususnya lembaga penegak hukum untuk bersungguh-sungguh dan secara konsisten serta konsekuen menegakkan hukum secara berkeadilan.

Jika ada campur tangan pemerintah dalam proses penegakan hukum, menurutnya, hal tersebut akan berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan (distrust). Kemudian membawa sikap ketidaktaatan (disobedience) rakyat terhadap hukum dan penegakan hukum. Jika ketidakadilan hukum terjadi, maka rakyat akan mudah bangkit dan bergerak untuk memprotes demi tegaknya kebenaran serta keadilan.

KH Didin melanjutkan, *poin yang keempat*, Dewan Pertimbangan MUI mengajak semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat, umat berbagai agama mengembangkan toleransi dan wawasan kebinekaan sejati. Hal itu adalah budaya dan etika untuk tidak memasuki wilayah keyakinan pihak lain dan tidak mengganggu hal-hal suci yang dianut pihak lain. Hal ini dilakukan dalam rangka memelihara keamanan negara dan kerukunan bangsa.

*"Kelima,* sehubungan dengan situasi dan kondisi kehidupan bangsa akhir-akhir ini, seyogyanya segenap penyelenggara negara tidak terbelenggu dan tersandera oleh satu faktor perusak dan pemecah belah bangsa. Terlalu rendah derajat kita jika hal itu terjadi dan terlalu mahal harga yang harus dibayar jika kerusakan dan perpecahan terjadi di negeri ini," jelasnya.

Ia menegaskan, *poin keenam*, Dewan Pertimbangan MUI menghimbau seluruh umat Islam sebagai umat mayoritas di negeri ini untuk menjadi perekat bangsa dan mengedepankan akhlak agung dalam melakukan muamalah secara nasional. Di samping itu umat Islam dituntut untuk mengokohkan ibadah dan tazkiyatun nafs dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.

sumber:
https://goo.gl/EInyMa

Monday, April 24, 2017

24 Kritik Eep Saefullah Fatah pada Umat Islam

24 Kritik Eep Saefullah Fatah pada Umat Islam

Dibelakang kemenangan Anis Sandi ada konsultan politik yang mungkin bagi sebagian orang nama itu asing, Eep Saefullah Fatah.

Dia juga yang konsultan politik yang mengantarkan Jokowi dari Walikota Solo hingga menjadi Presiden Indonesia. Serta berhasil mengantarkan Aher jadi Gubernur Jawa Barat.

Saya menemukan artikel menarik buah pikiran yang sangat menarik dari seorang Eep. Lebih tepatnya kritik membangun, introspeksi atau muhasabah untuk semua umat Islam.

Di dalam 24 pendapat Eep tersebut dikemukakan *Sikap Umat Islam yang Patut Dikoreksi adalah :*

1. Senang membuat kerumunan, tapi tidak rajin menggalang barisan.

2. Suka marah, tidak suka melakukan perlawanan.

3. Reaktif, bukan proaktif.

4. Suka terpesona oleh keaktoran, bukan oleh wacana atau _isme_ yang diproduksi atau dimiliki sang aktor.

5. Sikap umat Islam lainnya yang patut dievaluasi adalah sibuk berurusan dengan kulit, tidak peka mengurusi isi.

6. Gemar membuat organisasi kurang mampu membuat jaringan.

7. Cenderung memahami segala sesuatu secara simplistis, kurang suka dengan kerumitan kecanggihan padahal inilah adanya segala sesuatu itu.

8. Kata Eep Saifullah Fatah, umat Islam sering berpikir linear tentang sejarah dengan rumus dealektika atau sinergi. Enggan melihat diri sendiri sebagai tumpuan perubahan, sebaliknya cenderung berharap perubahan dari atas, atau para pemimpin.

9. Senang membuat program, kurang mampu membuat agenda.

10. Cenderung memahami dan menjalani segala sesuatu secara parsial, tidak secara integral atau kaffah.

11. Senang bergumul dengan soal-soal jangka pendek, kurang telaten mengurusi agenda jangka panjang.

12. Terus menerus menyerang musuh di markas besarnya, abai pada prioritas pertama menyerang musuh pada gudang amunisinya.

13. Kerap menjadikan politik sebagai tujuan bukan politik sebagai alat.

14. Senang mengandalkan massa, abai pada fakta bahwa perubahan besar dalam sejarah selalu digarap pertama-tama oleh creative minority. _(Ironisnya, ini justru secara spektakuler dicontohkan Nabi Muhammad SAW beserta lingkaran kecil di Mekah dan Madinah)._

15. Umat Islam senang berpikir memakmurkan Masjid​, kurang giat dan serius bagaimana memakmurkan jamaah Masjid.

16. Senang menghapalkan tujuan sambil mengabaikan pentingnya metode, tidak berusaha memahami dengan baik tujuan itu sambil terus mengasah metode.

17. Senang merebut masa depan dengan meninggalkan hari ini atau merebut hari ini tanpa kerangka masa depan, bukannya merebut masa depan dengan mencoba merebut hari ini.

18. Sangat pandai membongkar dan membongkar, kurang pandai membongkar-pasang.

19. Sangat cepat dan gegabah merumuskan musuh baru (dan lama) sangat lamban dan enggan merangkul kawan baru.

20. Gegap gempita di wilayah ritual, senyap di wilayah politik dan sosial.

21. Umat Islam sekarang ini kata Eep selalu ingin cepat meraih hasil, melupakan keharusan untuk bersabar.

22. Senang menawarkan program revolusioner tapi abai membangun infrastruktur revolusi.

23. Selalu berusaha membuat politik sebagai hitam putih, bukannya penuh warna tak hingga.

24. Sangat pandai melihat kesalahan pada orang lain, kurang suka melakukan instrospeksi

Umat Islam marah tidak ya dengan adanya kritik ini?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
۞وَالْعَصْرِ ۞ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
۞ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

_Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan *nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.*_
[QS. 103 Al 'Ashr:1-3]

Artikel ini ditulis pada hari Selasa 09 Oktober 2007

Sunday, April 16, 2017

Corporated Democracy

Al-Islam No. 852, 17 Rajab 1438 H – 14 April 2017

MEREBUT KEMBALI
SUMBERDAYA ALAM INDONESIA

Banyak warga Indonesia yang tidak menyadari bahwa negeri ini telah lama dicengkeram oleh sistem ekonomi neoliberalisme. Mereka hanya tahu kalau ekonomi Indonesia adalah ekonomi kerakyatan. Itu hanyalah slogan kosong.

Apakah neoliberalisme itu? Neoliberalisme adalah wujud pembaruan dari paham ekonomi liberalisme yang telah ada sebelumnya. Ekonomi neoliberalisme ini dikembangkan sejak tahun 1980 oleh IMF, Bank Dunia dan Pemerintah AS melalui Washington Consensus. Ekonomi liberalisme memiliki tujuan agar negara-negara kapitalis, yaitu Amerika dan sekutunya, dapat terus menguasai ekonomi negara-negara berkembang, sehingga dapat terus menjadi sapi perahannya.

Dengan neoliberalisme kegiatan ekonomi harus berjalan mengikuti prinsip-prinsip pasar bebas. Paham ekonomi ini menghendaki agar negara tidak banyak berperan dalam penguasaan ekonomi. Pengembangan sektor ekonomi cukup diserahkan kepada pihak swasta atau korporasi, baik nasional maupun asing. Hal-hal seperti inilah yang didiktekan oleh IMF atas Indonesia. Dengan demikian neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara menuju corporate state (korporatokrasi). Negara akan dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Akibatnya, keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi hanya untuk kepentingan perusahaan baik lokal maupun asing.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly, menjelaskan bahwa saat ini demokrasi di Indonesia memang telah berkembang menjadi corporated democracy, yakni demokrasi yang dikuasai oleh para pemilik modal. Dengan kekuatan uangnya, mereka menguasai media massa, market (pasar), society (masyarakat), bahkan state (negara), termasuk di dalamnya partai-partai politik dan lembaga-lembaga politik.

Untuk mewujudkan nafsu neoliberalismenya, kekuatan kapitalis asing dunia telah memaksakan kepada Indonesia maupun negara Muslim lainnya sejumlah undang-undang yang bernuansa liberal. Di Indonesia lebih dari 76 UU yang bernuansa liberal, draft (rancangan)-nya telah "dipaksakan" oleh pihak kapitalis asing. Contohnya adalah: UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan, UU Sumber Daya Alam, UU Sumber Daya Air, UU Perbankan dan sebagainya. Muatan berbagai macam UU tersebut sangat jelas, yaitu untuk meliberalisasi ekonomi di sektor-sektor yang vital di Indonesia. Alhasil, negeri ini maupun negeri-negeri Islam lainnya tengah dalam ancaman neoimperialisme (penjajahan gaya baru) melalui neoliberalisme.

Neoliberalisme dan neoimperialisme telah menyebabkan dampak yang sangat buruk bagi Indonesia maupun Dunia Islam pada umumnya. Dengan menggunakan tangan lembaga keuangan dunia, seperti IMF, World Bank, WTO, serta lembaga yang ada di bawahnya, seperti ADB, Indonesia dibelenggu utang yang sudah menembus angka Rp 4000 triliun. Neoliberalisme dan neoimperialisme juga telah mengakibatkan BUMN strategis Indonesia harus dijual kepada pihak swasta asing.

Memiskinkan

Neoliberalisme dan neoimperialisme telah mengakibatkan berbagai macam malapetaka kehidupan seperti tingginya angka kemiskinan dan lebarnya kesenjangan ekonomi. Mengacu pada laporan Lembaga Oxfam, ditengarai kekayaan 4 orang di Indonesia setara dengan jumlah harta 100 juta orang termiskin seindonesia. Hanya dalam satu hari, orang Indonesia terkaya bisa mendapatkan bunga deposito dari kekayaannya lebih dari seribu kali daripada dana yang dihabiskan penduduk Indonesia termiskin untuk kebutuhan dasar sepanjang tahun. Jumlah uang yang diperoleh setiap tahun dari kekayaan itu bahkan cukup untuk mengangkat lebih dari 20 juta orang Indonesia keluar dari jurang kemiskinan.

Kemiskinan berakibat luas, di antaranya mengakibatkan tingginya angka putus sekolah. Berdasarkan data UNICEF tahun ini sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan, yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Adapun angka putus sekolah di tingkat SMA Indonesia menempati peringkat kedua di bawah Cina. Dampak berikutnya adalah meningkatnya angka kriminalitas. Di wilayah Jakarta saja setiap 12 menit terjadi kejahatan. Di level pejabat dan eksekutif tindak pidana korupsi semakin menjadi-jadi. Korupsi pada tahun 2016 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, dari 13.977 perkara menjadi 14.564 kasus. Kasus bancakan dana E-KTP yang mencapai Rp 5,3 triliun rupiah diduga melibatkan banyak pejabat juga anggota legislatif. Neoliberalisme mendorong pejabat dan legislatif menjadi rakus dan melupakan pelayanan masyarakat.

Kenyataan buruk itu makin diperparah oleh kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak pro rakyat seperti kenaikan harga BBM, elpiji, tarif listrik dan lain-lain.

Dengan demikian neoimperialisme dapat kita katakan sebagai penjajahan baru negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain

Selamatkan dengan Syariah!

Islam adalah agama yang tidak pernah memisahkan urusan dunia dengan kehidupan, termasuk urusan politik, pemerintahan dan kebijakan ekonomi. Di bidang pemerintahan dan kebijakan ekonomi, Islam telah mewajibkan negara untuk mengelola urusan umat dan berkhidmat pada mereka. Nabi saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Kepala Negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus (HR al-Bukhari).

Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat menjadi kepala negara di Madinah. Beliau melayani masyarakat dan menjadi penanggung hidup mereka. Beliau bersabda:

أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ
Aku lebih utama menjamin kaum Mukmin daripada diri mereka sendiri. Karena itu siapa saja yang meninggal dunia dari kalangan kaum Mukmin, lalu meninggalkan utang, maka akulah yang wajib membayarnya; siapa yang meninggalkan harta maka harta itu untuk ahli warisnya (HR al-Bukhari).

Negara dalam Islam tidak boleh berlepas diri dari kewajiban mengurus rakyat. Tidak boleh dengan alasan untuk menghemat kas negara, lalu negara mengurangi kewajiban mereka menjamin kehidupan masyarakat, misalnya mengurangi anggaran dan pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan; atau mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari BBM, listrik atau gas dengan cara menjual semua itu kepada rakyat.

Sejarah mencatatat bagaimana negara pada masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab bekerja keras menangani krisis ekonomi akibat paceklik pertanian dalam jangka panjang. Khalifah Umar bersama aparat yang lain menyiapkan bantuan pangan hingga keluar Madinah agar rakyat tidak kelaparan. Hal itu terjadi selama sembilan bulan.

Negara juga haram menjual badan usaha milik negara dan kekayaan alam milik rakyat kepada pihak swasta lokal maupun asing. Semua kekayaan alam yang menjadi hajat hidup umat harus dikelola oleh negara dan keuntungannya dialokasikan untuk kepentingan rakyat. Dalilnya,  Rasulullah saw. pernah menarik kembali pemberian tambang garam kepada Abyadh bin Hammal setelah diberitahu bahwa deposit yang terkandung di dalamnya amat besar. Beliau juga bersabda:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat (meliki hak yang sama) dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan Ibn Abi Syaibah).

As-Sarakhsi dalam Al-Mabsûth menjelaskan, "Di dalam hadis ini terdapat penetapan hak bersama manusia baik Muslim maupun kafir dalam ketiga hal itu...Status pemanfaatanya seperti pemanfaatan matahari dan udara; Muslim maupun non-Muslim memiliki hak yang sama. Tidak seorang pun boleh menghalangi seseorang dari pemanfaatan itu. Statusnya seperti pemanfaatan jalan umum..."

Selain itu privatisasi (penjualan aset milik rakyat kepada swasta/asing) juga membuat pihak asing leluasa menjarah dan menguasai kedaulatan sebuah negara. Mereka melakukan praktek suap-menyuap (risywah) kepada penguasa untuk memuluskan usaha mereka sehingga akhirnya pemerintah dikendalikan oleh korporat. Inilah yang dinamakan korporatokrasi; kekuasaan pemerintah takluk di bawah kepentingan para pengusaha, terutama pemilik perusahaan-perusahaan asing. Dalam hal ini Allah SWT telah berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin (TQS an-Nisa' [4]: 141).

Dalam Tafsir Jalalayn, kata "sabîl" dalam ayat tersebut diartikan "tharîq[an] bi al-isti'shal" ,  artinya jalan untuk mencabut hingga ke akar-akarnya. Pemberian izin usaha pengelolaan sumberdaya alam kepada pihak asing seperti migas, pertambangan dan air terbukti telah amat menyesengsarakan rakyat.

Wahai Kaum Muslim!

Sebenarnya telah amat jelas dan gamblang kerusakan yang terjadi di negeri ini. Semua malapetaka yang menimpa negeri ini bukanlah disebabkan oleh syariah dan Khilafah, justru akibat syariah dan Khilafah tidak diterapkan. Sebuah kebohongan nyata bila dikatakan syariah dan Khilafah adalah ancaman bagi negeri ini. Kerusakan kehidupan hari ini jelas adalah buah dari neoliberalisme. Lantas mengapa kita masih juga mempertahankan sistem kehidupan yang rusak dan menyusahkan ini? Sekaranglah saatnya kita mengibarkan panji Rasulullah saw., menjalankan syariah yang beliau bawa dan menegakkan kembali Khilafah sembari mencabut sistem neoliberalisme dari akarnya yang terbukti telah membuat negeri jatuh ke dalam jurang kebinasaan. []

Komentar al-Islam:

Rektor UIN Jakarta: Umat Harus Paham Sejarah Islam di Nusantara (Republika.co.id, 11/4/2017).

1. Jika kita mau jujur, sejarah Islam di Nusantara tidak terlepas dari sejarah Kekhilafahan Islam yang terakhir, yakni Kekhilafahan Turki Utsmani.
2. Sebagian pendakwah Islam di Nusantara, yakni Wali Songo, justru merupakan utusan resmi Kekhilafahan Islam yang berpusat di Turki.
3. Karena itu tentu aneh dan ahistoris jika bangsa ini anti terhadap Khilafah yang memiliki peran yang sangat kuat bagi keberadaan Islam di Nusantara.

Friday, April 7, 2017

Freeport, ekspor, dan kampanye divestasi 51%

*AKHIRNYA FREEPORT PECUNDANGI INDONESIA*

_Oleh : Energy Watch Indonesia_

Resmi sudah PT Freeport Indonesia mempecundangi Indonesia dengan kemenangan sempurna. *Negara akhirnya kalah dalam segala hal. Freeport bebas ekspor mineral mentah, Kontrak Karya tetap berlaku untuk kepastian investasi, namun IUPK diterbitkan untuk mengakali dan mensiasati UU MINERBA No 4 Tahun 2009 agar Freeport bebas ekspor mineral.* Inikah bangsa yang katanya dipimpin orang hebat dan dipuji-puji oleh sebagian orang yang buta mata buta hati?

Beberapa waktu lalu kami Energy Watch Indonesia sudah mengingatkan agar mewaspadai siapapun yang pura-pura nasionalis, saya sebut nasionalis abal-abal yang seolah  berpihak dan membela negara atas Freeport. Fakta sekarang kemudian terjawab, Freeport memenangkan pertarungan dan kita tetap menjadi bangsa bodoh yang mana pemerintahnya mensiasati dan mengakali aturan yang ada. *Padahal Sumpah Presiden menyatakan akan melaksanakan Undang-undang selurus-lurusnya. Kejadian yang diberikan kepada Freeport adalah bukan melaksanakan UU selurus-lurusnya tapi mengakali, mensiasati dan melanggar UU.*

Jelas bahwa ketidak adilan telah ditunjukkan pemerintah dalam mengurus negara. *Disamping ketidak adilan, jelas pemerintah juga terlihat nyata hanya sedang beretorika dengan kata-kata terkait Freeport. Pemerintah gagal fokus mengurus masalah Freeport.*

Kami tidak mengerti maunya pemerintah ini apa, tidak jelas arahnya mau bagaimana terkait masa depan Freeport. Namun jelas terlihat adanya agenda kepentingan luar biasa besar dalam kepastian masa depan Freeport ini. Berulang kali pemerintah bicara tentang divestasi saham hingga 51%, terdengar heroik dan nasionalis. Padahal disini masalahnya besar luar biasa. Kita tidak punya kemampuan financial untuk membeli divestasi 51%, lantas dari mana sumber dana penerintah membelinya? Inipun tidak jelas. Mungkin pemerintah sudah mengantongi calon pembeli. *Disini letak masalahnya, para broker dan mafia akan gentayangan. Mengandalkan BUMN kita untuk divestasi ? Sepertinya tidak ada BUMN kita yang mampu.* 51% divestasi setelah sekarang baru hampir 10% yang kita kuasai, artinya ada 41%  yang harus dibayar dengan perkiraan nilai setidaknya akan ditawarkan Freeport sebesar 7 hingga 8 Milliar Dolar. *Terbukti bahwa divestasi tahap kedua yang ditawarkan Freeport tahun lalu sebesar 10% hingga kini tidak jelas apakah bangsa ini akan membeli divestai tersebut atau tidak. Negara yang aneh.*

Entah untuk apa pemerintah selalu mengampanyekan divestasi 51%, padahal bukan itu fokus yang harus diurus dengan Freeport. *Jika Freeport tidak kita perpajang pasca 2021, bukankah Freeport itu kembali ke kita dan kita dapat 100% tanpa perlu divestasi? Lantas mengapa harus mengeluarkan uang besar untuk 51% jika kita bisa dapat 100% dengan gratis? Tinggal kita yang mengelola secara utuh dan mandiri.*

*Pemerintah telah salah dan berpura-pura nasionalis. Pemberian IUPK dan sekaligus Kontrak Karya masih berjalan adalah bentuk pelanggaran serius.* IUPK diberikan agar ekspor mineral bebas, dan Kontrak Karya berlaku demi kepastian investasi. Aturan mana yang membenarkan berlakunya kedua aturan tersebut secara bersama-sama? *Padahal PP No 1 tahun 2017 itu adalah produk penerintah, UU no 4 tahun 2009 adalah produk negera, tapi semua dilecehkan tanpa merasa bersalah oleh Pemerintah.*

Pemerintah kami minta untuk kembali kepada aturan yang ada. Kembalikan *Freeport kepada rejim Kontrak Karya hingga 2021, lakukan negosiasi tentang peningkatan royalty dan pajak-pajak serta penerimaan negara lainnya, negosiasi pembangunan smelter harus selesai dalam 3 tahun, baru kemudian bicara divestasi saham.* Skala prioritas harus jelas, jangan serampangan mengurus isu-isu Freeport. *Jika Freeport tidak bersedia meningkatkan Royalti dan pemasukan lainnya bagi negara, maka sebaiknya segera diputuskan bahwa 2021 kotrak karya Freeport berakhir. Kita kelola tambang Greasberg itu secara mandiri demi kemakmuran bangsa.*

Sekali lagi kita minta agar pemerintah jangan menjadi pecundang terhadap Freeport. Tegakkan harga diri dan martabat bangsa yang tidak tunduk dan tidak menjadi pelayan bagi asing. Kembalikan Freeport ke kontrak karya dan cabut IUPK segera. *Negosiasi secara baik dan tepat terkait isu pasca 2021. Berhentilah berpura-pura nasionalis padahal sesungguhnya adalah budak asing.*

Jakarta, 05 April 2017
_Ferdinand Hutahaean_
_Direktur Eksekutif_
_081210022193_

Wednesday, March 29, 2017

Agama dan Negara


"BAIK ISLAM MAUPUN KRISTEN TIDAK DAPAT MENGKHAYALKAN NEGARA YG TERPISAH DARI AGAMA. KARENA JIKA NEGARA TERPISAH DARI AGAMA, HILANGLAH TEMPAT DIA DITEGAKKAN."

Pidato Ketua Umum MUI pertama, Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu disampaikan di hadapan para Pemuka Agama Kristen dan Aktifis Kristen, di Sekolah Tinggi Theologi Kristen Jakarta, pada 21 April 1970.

Menurut Hamka, Islam memandang bhw negara adlh penyelenggara atau pelayan/ khadam dr manusia. Sedangkan manusia adlh kumpulan dari pribadi2.
Maka tidak dapat tergambar dalam pemikiran bahwa seorang pribadi, karena telah bernegara, dia pun terpisah dengan sendirinya dari agamanya.

BERIKUT INI ADALAH ISI PIDATO SANG BUYA YANG DISAMPAIKAN DI HADAPAN PARA TOKOH KRISTEN:

"PAYAHLAH memikirkan bahwa seorang yang memeluk suatu agama, sejak dia mengurus negara, agamanya itu musti disimpannya.

Anggota DPR kalau pergi ke sidang, agamanya tidak boleh dibawa-bawa, musti ditinggalkannya di rumah.
Kalau dia menjadi menteri, selama Sidang Kabinet, agamanya musti diparkirnya bersama mobilnya di luar.
Dan kalau dia menjadi Kepala Negara, haruslah jangan memperlihatkan diri sebagai Muslim atau Kristen selama berhadapan dengan umum.
Simpan saja agama itu dalam hati. Nanti sampai di rumah baru dipakai kembali.

SAYA PERCAYA BAHWA CARA YANG DEMIKIAN HANYA AKAN TERJADI PADA ORANG-ORANG YANG MEMANG TIDAK BERAGAMA.
Sebab memang tidak ada pada mereka agama yang akan disimpan di rumah itu, atau diparkir di luar selama Sidang Kabinet.

Kalau dia seorang Muslim yang jujur atau seorang Kristen yang tulus, agama yang dipeluknya itulah yang akan mempengaruhi sikap hidupnya, di luar atau di dalam parlemen, di rumah atau di Sidang Kabinet, dalam hidup pribadi atau hidup bernegara.

Dia akan berusaha melaksanakan segala tugasnya bernegara, menurut yang diridhai oleh Tuhan yang dia percayai.
Dan dia akan menolong agamanya dengan kekuasaan yang diberikan negara kepadanya, menurut kemungkinan-kemungkinan yang ada.

Begitulah dia, kalau dia Islam.
Begitulah dia, kalau dia Kristen."

BUYA HAMKA BERKESIMPULAN:

Seorang Kristen yang benar, tidaklah akan mau menerima gagasan, kalau dengan gagasan itu mereka diajak memisahkan kegiatan hidupnya dengan yg diajarkan oleh Isa Almasih.

Padahal, Almasih telah memerintahkan ummatnya untuk menegakkan Syariat Musa, dimana satu titik pun, satu noktah pun, tidak boleh diubah.

Jadi ketiga agama langit, yaitu Islam, Yahudi, dan Nasrani, sebenarnya merupakan agama Aqidah dan Syariat. Dimana pengikutnya wajib mentaati apa yg dituliskan dalam Aqidah, dan tidak boleh mengingkari apa yg diwajibkan oleh Syariat.

Buya Hamka menentang kemungkinan seseorang yg beragama Islam atau beragama Kristen, pada saat yg sama ia menjadi Sekular.

MENURUT HAMKA, NEGARA DAN AGAMA ADALAH SATU KESATUAN. Sehingga wajar dan bukan SARA jika umat Islam ingin dipimpin oleh pemimpin Islam, dan orang Kristen memilih pemimpin Kristen. Karena memang begitulah aturan di agama masing-masing.

-------

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan pengajar.

Sunday, March 5, 2017

LOGIKA SEDERHANA IMAM HASAN AL-BANNA

LOGIKA SEDERHANA IMAM HASAN AL-BANNA

Hasan Al-Banna punya sebuah majelis taklim. Majelis ilmu itu dilaksanakan di sebuah masjid pada malam hari. Jama'ah. pengajian itu semakin hari semakin membludak saja. Maklum, tutur kata ustadz muda itu begitu menyentuh jiwa.

Suatu hari, Hasan Al-Banna merasakan adanya nuansa aneh di majelis taklimnya. Jama'ah pengajiannya duduk berkelompok. Ada dua kelompok besar. Masing-masing mengambil jarak.

Sebelum lagi Hasan Al-Banna memulai acara taklimnya, tiba-tiba sebuah pertanyaan mengejutkannya. Sebenarnya nada pertanyaan itu datar saja, tapi hati Hasan Al-Banna yang begitu peka menangkap sebuah pesan yang besar dalam pertanyaan itu.

"Bagaimana pendapat ustadz mengenai tawassul?" Sang guru yang ditanya terdiam sejenak. Ditatapnya si penanya. Disapunya satu per satu hadirin yang menatapnya dengan raut wajah menunggu.

"Wahai saudaraku," sapa Hasan Al-Banna jernih kepada si penanya. "Saya yakin engkau tidak hanya bertanya tentang tawasul saja. Engkau juga ingin bertanya tentang membaca salawat setelah azan, membaca Al Kahfi di hari Jumat, mengucap kata sayyidina dalam tasyahud, juga tentang membaca Alquran yang pahalanya ditujukan untuk mayit seseorang."

Jama'ah majelis taklim itu kaget. Guru mereka bisa membaca isi pikiran mereka. Dan Hasan Al-Banna memang sengaja mengungkap beberapa masalah khilafiyah yang sedang mereka ributkan. Masalah itulah yang membuat murid-muridnya duduk berkelompok-kelompok.

"Ya, benar. Saya memang ingin jawaban tentang itu semua," ujar si penanya tadi. Hasan Al-Banna menatapnya lembut. "Wahai saudaraku, saya ini bukan ulama. Hanya guru biasa yang hafal sebagian ayat-ayat Alquran, hadits, dan hukum-hukum agama yang saya baca dari beberapa kitab, lalu saya mengajarkannya kepada kalian. Jika engkau membawaku keluar dari lingkup itu, berarti kalian telah membuatku mengalami kesulitan," ungkap Hasan Al-Banna jujur.

"Oleh karenanya, jika apa yang akan saya katakan dapat memuaskanmu, itulah yang saya inginkan dan silakan mendengarkan. Namun, jika engkau menginginkan jawaban dan pengetahuan yang lebih luas, maka tanyakanlah kepada selainku. Tanyakan kepada para ulama yang ahli. Merekalah yang mampu memberikan fatwa kepadamu mengenai apa yang engkau inginkan itu. Adapun saya, hanya inilah kapasitas keilmuan yang saya miliki. Allah tidak membebani seorang hamba melainkan sebatas kesanggupannya," lanjut Hasan Al-Banna.
Rupanya, ungkapan merendah Hasan Al-Banna itu berhasil mencairkan suasana kaku yang tercipta di antara hadirin. Mereka tampak lega dengan apa yang dikatakan guru mereka.
Melihatnya, diam-diam Hasan Al-Banna bertahmid kepada Allah swt. Nalurinya sebagai pendidik tergugah. Ini saat yang tepat untuk memberi pelajaran yang lebih kepada murid-muridnya.

"Wahai saudaraku sekalian, saya sebenarnya tahu betul kemana arah pertanyaan tadi. Kalian ingin tahu saya ini termasuk kelompok Syeikh Musa atau Syeikh Sami. Ketahuilah, hal ini sama sekali tak bermanfaat bagi kalian. Kalian sudah tenggelam dalam iklim fitnah selama selama delapan tahun ini. Itu sudah cukup, " ucap Hasan Al-Banna memecah di keheningan masjid.

"Masalah-masalah yang kalian perselisihkan sebenarnya sudah diperselisihkan oleh kaum muslimin selama ratusan tahun lamanya. Dan mereka masih saja berselisih. Meski demikian Allah swt. tetap ridha apabila kita saling mencintai dan saling menjalin persatuan. Allah swt. benci apabila kita berselisih dan berpecah belah. Oleh karena itu, saya berharap, kalian bisa berjanji kepada Allah untuk meninggalkan persoalan-persoalan semacam ini sekarang. Lalu kita bersungguh-sungguh untuk bersama-sama mempelajari dasar-dasar agama dan kaidah-kaidahnya, mengamalkan anjuran anjuran agama yang kita sepakati bersama, serta kita amalkan kewajiban-kewajiban dan sunah-sunahnya sekaligus. Kita tinggalkan sikap takalluf (mengada-ada) dan ta'ammuq (terlalu dalam menyelami persoalan) agar jiwa kita jernih. Dengan begitu, kita semua bisa mempelajari berbagai persoalan dalam naungan rasa cinta, saling percaya, persatuan, dan keikhlasan. Saya berharap agar kalian dapat menerima pendapatku ini dan agar hal ini menjadi suatu janji di antara kita," tutur Hasan Al-Banna panjang dan mendalam. Semua terdiam. Tampaknya mereka butuh contoh konkret atas uraian tadi.

Hasan Al-Banna kembali menghentak keheningan itu.

"Siapa di antara kalian yang bermazhab Hanafi?" Seseorang mengacungkan jari. "Kemari!"

"Siapa di antara kalian yang bermazhab Syafi'i?" Satu orang lagi maju, mendekat ke guru muda itu.

"Saya akan shalat dan mengimami kedua saudara kita ini," kata Al-Banna kepada jama'ah majelis taklimnya.

"Apa yang kamu lakukan saat saya sedang membaca Al-Fatihah?" tanya Hasan Al-Banna kepada muridnya yang mengaku bermazhab Hanafi. "Saya akan diam saja dan tidak membaca apa-apa."

"Saudaraku yang bermazhab Syafi'i, apa yang kamu lakukan?" "Saya tetap harus membaca AlFatihah!" jawabnya tegas. Hadirin mendengar jawaban kedua itu.

Hasan Al-Banna kembali melemparkan pertanyaan. "Jika kita telah selesai shalat, bagaimana pendapatmu, wahai saudaraku yang bermazhab Syafi'i, tentang shalat saudaramu yang bermazhab Hanafi?"

"Shalatnya batal karena tidak membaca AlFatihah yang merupakan salah satu rukun shalat."

Hasan Al-Banna melontarkan pertanyaan yang sama ke murid yang satunya lagi. "Lalu bagaimana pendapatmu, wahai saudaraku yang bermazhab Hanafi tentang shalat saudaramu yang bermazhab Syafi'i?". "Ia telah melakukan tindakan makruh yang bersifat haram."

Mendengar kedua jawaban itu, Hasan Al-Banna segera mempertajam pertanyaannya. "Apakah karena alasan itu salah seorang dari kalian mengkafirkan yang lain?" "Tidak!" jawab keduanya cepat.

Hasan Al-Banna kemudian berpaling ke seluruh hadirin. "Apakah ada di antara kalian yang mengkafirkan satu dari mereka karena bacaan Al-Fatihahnya?" .

Tidak," kata seluruh jamaah majelis taklim tegas.

"Aduhai, Maha Suci Allah. Kalian bisa diam dan memaklumi permasalahan seperti ini padahal ini menyangkut sah atau batalnya shalat. Tapi, mengapa kalian berselisih tak kunjung usai hanya karena ucapan Allahumma shalli `ala Muhammad atau Allahumma shalli `ala sayyidina Muhammad dalam tasyahud?"

Jama'ah majelis taklim itu tercengang. Ya, mengapa mereka bisa terjebak dalam perselisihan yang tak perlu.

Dan logika sederhana guru mereka telah membongkar tempurung yang menutupi cakrawala berpikir mereka selama ini. Malam itu mereka mendapat pelajaran yang sangat berharga dari guru mereka, Hasan Al-Banna.

#memoar hasan albanna

Sunday, January 29, 2017

Katena Islam Dianggap Selalu Salah

*POKOKNYA SALAH, TIDAK USAH NGEYEL!*
Ust. Choirul Anam

Di zaman demokrasi seperti sekarang, memeluk agama apapun itu hak dan tentu saja pilihan bebas. Bahkan beragama dianggap sbg hak asasi paling fundamental.

Termasuk memeluk agama Islam atau yg lain. 1000% bebas. Meski memeluk Islam itu bebas, tapi menjalankan Islam itu tidak bebas. Islam hanya boleh dijalankan yg berkaiatan dg masalah privat, tetapi tdk dlm masalah yg lain.

Jika ada yg melaksanakan Islam dlm urusan non privat, maka itu salah dan merupakan pelanggaran hukum.

Umat Islam boleh sujud semalam sampai keningnya hitam, atau baca alquran sampai khatam setiap hari. Tapi jangan coba-coba bawa SATU ayat saja dalam kehidupan nyata. Haramnya pemimpim kafir mmg ajaran Islam, tp jangan sekali-kali disampaikan apalagi jadi sikap dlm menentukan langkah hidup. Itu pelanggaran yg teramat keras dlm demokrasi.

Pokoknya, jika umat Islam bicara Islam, apalagi syariah Islam, apalagi Khilafah Islam, apalagi sok-sokan bela Islam, maka itu salah, kuno, fanatik, berbahaya, intoleran, tak berpendidikan, garis keras, brutal, kolot, seabrek gelar lainnya.

Bahkan, menutup aurat menurut Islam saja, sudah dianggap berbahaya dan disuruh pindah ke Arab. Boleh pakai baju tapi tdk boleh ada nuansa Islamnya, apalagi berdasarkan Islam. Kalau ada nuansa yg lain, seperti barat atau cina tdk apa-apa karena itu berarti go international.

Mengatur rambut (yg tumbuh di mana pun) itu bebas. Tapi jangan sampai berjenggot sesuai Islam. Itu berbahaya dan bisa jadi delik terorisme. Boleh manjangin jenggot, tapi tubuh harus ditato. Nah itu baru keren. Itu baru taat hukum.

Menyampaikan pendapat itu bebas. Tapi tdk boleh ada kaitannya dg Islam. Bicara Islam itu dianggap monopoli kenenaran, sok suci dan patut diwaspadai. Tapi kalau mengkritik Islam, itu baru kritis, intelektual, punya nalar, berwawasan terbuka.

Nulis tauhid di bendera, wah itu penghinaan berat negara. Itu menusuk rasa kebangsaan terdalam. Itu penodaan yg sangat fatal. Kalau nulis selainnya, itu berarti sangat cinta Indonesia. Itu berarti terjadi perpaduan harmonis antara nasionalisme dan kreativitas. Apa yg dilakukan Slank, misalnya, adalah contoh musisi dg rasa cinta tanah air yg luar biasa.

Sudah, pokoknya umat Islam yg bicara Islam di ruang publik itu salah dan pelanggaran hukum. Tidak usah ngeyel.

Kalau tdk terima, silahkan protes. Bawa jutaan umat ke monas. Tak ada pengaruhnya. Mau ngadu, ya sudah ngadu saja ke Tuhan yang katanya Maha Mendengar.

*****
Begitulah demokrasi. Jika kemarin, demokrasi masih malu-malu menampakkan wajah, sekarang demokrasi menampakkan wajah aslinya.

Demokrasi selalu bersembunyi dibalik nama rakyat, sekarang wajah aslinya tampak. Demokrasi hanyalah mengabdi kepada pemilik modal. Jutaan rakyat boleh protes, tapi keinginan tuan reklamasi pantai tdk boleh terusik.

Menghadapi wajah asli demokrasi yg sangat mengerikan memang tidak ringan. Tapi bagaimanapun, tetap lebih baik srigala berwajah srigala, sehingga kita menjauhinya, daripada srigala berwajah domba.

Kita sekarang ditakdirkan Allah menghadapi srigala dalam wujudnya aslinya.

Memang tidak ringan. Semoga Allah melindungi kita semua. Insya Allah hari-hari yang di nanti semakin dekat waktunya.

والله اعلم بالصواب