Tuesday, June 9, 2015

Tulisan Burhanuddin Abdullah

CATATAN ATAS MASALAH PEREKONOMIAN TERKINI.
Oleh Burhanuddin Abdullah,-mantan Gub.BI

Perekonomian kita sedang menghadapi kelesuan dan berbagai tantangan yang tidak ringan. Kelesuan permintaan luar dan dalam negeri serta langkanya investasi membuat pertumbuhan ekonomi kita pada Q1 hanya mencapai 4,7%. Kelesuan ini berakibat pada rendahnya penyerapan tenaga kerja dan bertambahnya pengangguran terbuka. Paling tidak ada 1,5 juta tambahan angkatan kerja baru yang tidak bisa terserap oleh perekonomian kita pada tahun ini.
Sejak awal 2000-an, perekonomian kita mendapatkan banyak berkah terutama dari perkembangan ekonomi di Kawasan ini. Pertumbuhan ekonomi China dan India yang begitu kuat telah menaikkan harga berbagai komoditi yang menjadi produk andalan Indonesia. Neraca perdagangan kita surplus rata-rata 25 milyar dollar untuk jangka waktu yang cukup lama. Kita pun lupa untuk menyegerakan pembangunan infrastruktur, industri manufaktur, dan pertanian. Kita menjadi Negara pengimpor bukan hanya energi dan barang manufaktur tetapi juga pangan. Ketergantungan perekonomian kita pada komoditi semakin menjadi-jadi.
Tanda-tanda bahwa perekonomian dunia mengalami perlambatan sudah terlihat sejak 2012. Permintaan terhadap komoditi bahan baku industri pun cenderung terus melemah. Harga-harganya pun secara perlahan tetapi pasti terus mengalami penurunan. Harga minyak bahkan merosot tajam dari di atas 100 usd per barrel menjadi hanya tinggal setengahnya. Mulailah transaksi berjalan (current account-CA) kita mengalami deficit kembali dan semakin mengkahwatirkan (pernah mencapai 3,3% dari PDB). Bahkan, neraca perdagangan pun mengalami deficit, sesuatu yang dalam sejarah perjalanan ekonomi kita tak pernah terjadi. Deficit CA ini menjadi pemicu kemerosotan nilai rupiah yang sekarang sempat melampaui angka Rp13200 per usd.
Kemerosotan nilai rupiah ini memiliki implikasi yang luas dalam perekonomian kita. Beban pembayaran utang menjadi meningkat. Tekanan inflasi juga meningkat. Biaya impor bahan baku industri dan barang modal naik sekitar 30 %. Confidence pelaku bisnis berkurang dan tanda-tanda pesimisme semakin jelas. Non-performing loan atau kredit macet meningkat. Penjualan barang modal dan consumer durables seperti truk, bus, mobil, motor, kulkas, dan tv, dan bahkan barang konsumsi juga merosot.
Situasi ekonomi dalam negeri yang mencemaskan tersebut menjadi semakin tidak menentu dengan adanya rencana normalisasi kebijakanThe Fed yang akan menaikkan suku bunga.

APA YANG HARUS DILAKUKAN
Menghadapi permasalah yang sangat berat tersebut maka
Pertama, pihak otoritas harus dengan terbuka mengakui bahwa perekonomian kita sedang menghadapi permasalahan yang sangat berat. Pengakuan ini disertai dengan penjelasan menyeluruh secara terang benderang tentang beban yang harus ditanggung oleh Pemerintah, BUMN, BUMS, dan masyarakat pada umumnya, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Yang juga penting dalam penjelasan ini adalah langkah-langkah kebijakan yang akan dilaksanakan. Kedua, Pemerintah menyusun task force dari berbagai kalangan untuk mengkaji berbagai opsi kebijakan dan menyusun program penyelamatan perekonomian; Ketiga, menjalin komunikasi intensif dengan Negara-negara yang diperkirakan sedang menghadapi permasalahan yang sama untuk membuka dialog kebijakan yang bisa diambil secara bersama dan/atau individual; Keempat,
membuka dialog dengan Negara-negara yang memiliki kesepakatan Swap Arrangement dengan Indonesia (Jepang, China, Korea Selatan, Thailand); dan terakhir menjajagi kesepakatan bilateral dalam rangka penyelesaian krisis (untuk menghindar dari solusi yang sudah biasa, yaitu meminta Stand-By Arrangement kepada IMF).
Opsi kebijakan yang diusulkan hendaknya dibuka seluas-luasnya. Tidak ada kebijakan yang ditabukan. Semua mungkin untuk diputuskan dan dilaksanakan. Saya kira sekurang-kurangnya ada dua kebijakan yang kontroversial yang dapat dipertimbangkan untuk dilaksanakan. Yang pertama, apabila situasi sudah mengarah kepada pelemahan mata uang yang semakin dalam maka kemungkinan untuk melakukan Capital control untuk waktu tertentu harus dipertimbangkan. Kebijakan ini kontroversial karena bertentangan dengan status keanggotaan Indonesia di IMF (article 8) yang harus mengkonsultasikannya terlebih dahulu. Kedua, untuk menambah likuiditas yang semakin seret karena capital reversal maka kemungkinan untuk memberikan tax amnesty patut dipertimbangkan secara serius. Sebagaimana diketahui dari analisis dan berbagai laporan diketahui bahwa sekurang-kurangnya ada 4000 trilyun rupiah (400 milyar usd) dana milik penduduk Indonesia yang berada di luar negeri, terutama di Singapura. Dana yang setara dengan keseluruhan asset perbankan Indonesia tersebut diperkirakan 60% dalam bentuk likuid dan sisanya dalam asset illikuid. Dengan adanya tax amnesty diharapkan sebagian dana tersebut akan kembali ke Indonesia.
Selanjutnya, pemerintah hendaknya menyegerakan pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur yang sudah dicanangkan. Semua kesulitan dalam pelaksanaan proyek infrastruktur ini, misalnya dalam hal pembebasan lahan dan lain sebagainya, hendaknya dijelaskan supaya masyarakat tahu apa yang bisa diharapkan dalam waktu dekat terutama dalam kaitan dengan semakin seretnya lapangan kerja. Selain itu, berbagai hambatan bagi investasi asing maupun dalam negeri pada sektor-sektor usaha yang masih menguntungkan harus segera dirapihkan.
Dengan catatan kecil tersebut di atas, yang masih harus didiskusikan detilnya, saya kira pihak Otoritas baik Pemerintah, Bank Sentral, Otoritas Pengawas, maupun berbagai asosiasi industri maupun pekerja harus mulai memikirkan langkah-langkah tersebut di atas. Situasi sudah sangat mendesak. Sementara kita saat ini masih berada dalam a state of denial. Kita masih berpura-pura bahwa tidak ada masalah. Kita harus segera mengakui masalah yang kita hadapi dan kemudian mengambil langkah agar kita terhindar dari krisis yang dampaknya mungkin lebih buruk dari yang perkirakan.


http://kenisah.blogspot.com

No comments:

Post a Comment